Dokterpreneur yang Sukses Sulap Jamu Tradisional Jadi Minuman Kekinian

Dirilis

18 Desember 2022

Penulis

Alin Kristiasti Fohan

Pengusaha

Agnes Sukenty Niken

Jenis Usaha

Pemilik bisnis minuman tradisional

Anda suka minum jamu?

Saat mendengar kata jamu, stigma yang mungkin muncul adalah minuman tradisional yang pahit, rasanya tidak enak, aromanya menyengat, dan sebagainya. Makanya, meski mengetahui khasiat jamu untuk kesehatan tubuh, tidak sedikit orang yang tetap menolak minum jamu dan lebih memilih minuman lain yang dirasa lebih enak. 

Atas dasar pemikiran ini, dr. Agnes Sukenty Niken Puspitarini terpanggil untuk memperkenalkan jamu yang enak, agar bisa lebih disukai lebih banyak orang, tentunya dengan tidak meninggalkan berbagai manfaat dari bahan baku yang alami dan tradisional. Dengan merk Ing Pawon yang diusung, ia berharap bisa memperkenalkan cara nikmat minum minuman sehat. 

Berhasil tidak ya?

 

Dokter yang Berani Memutuskan Berwirausaha dari Hobi Minum Jamu

 
Seperti gelar pada namanya, dr. Agnes Sukenty Niken Puspitarini, memang seorang dokter. Dulunya, wanita lulusan Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta tahun 2002 ini mungkin tidak pernah terpikir untuk terjun ke dunia bisnis minuman tradisional. Walau ia memang sangat menyukai minuman tradisional, khususnya jamu. Hal ini semacam tradisi turun-menurun di keluarganya. 

“Saya sekeluarga suka minum jamu, jamu tradisional, bukan yang tinggal seduh. Ibu dan mertua saya malah suka bikin jamu. Kata ibu saya, jadi perempuan itu harus minum jamu, meskipun pahit. Filosofinya, karena hidup itu tidak selalu manis jadi harus tahu yang pahit,” kata wanita yang biasa dipanggil Niken ini. 

Menurut orang awam, mungkin semua jamu rasanya sama saja. Namun ternyata berbeda bagi Niken dan keluarga. Karena sudah akrab dengan jamu sejak lama, Niken mengakui sangat sulit menemukan jamu yang sesuai dengan seleranya di Jakarta. Apalagi sempat ada issue mengenai proses pembuatan jamu yang tidak sesuai prosedur, sehingga membuatnya semakin khawatir. 

Selama ini, jamu yang cocok baik secara rasa dan tekstur jamunya adalah jamu yang berasal dari daerah Jawa Tengah, khususnya Yogyakarta. Jadi, ketika ada keluarga atau kenalan yang bepergian ke Jawa Tengah, Niken akan titip beberapa botol untuk stok di rumah. Selain itu, Niken hanya mengandalkan jamu buatan ibunya.

Pada tahun 2017, Niken tergerak untuk mencoba membuat jamu sendiri meski hasilnya masih mengecewakan. “Awalnya rasanya amburadul gak karu-karuan, terlalu pahit, terlalu asam, asin, warnanya butek, macam-macamlah hasilnya. Tetapi karena sering buat akhirnya paham takarannya dan menurut suami saya enak,” katanya. 

Jamu buatan Niken biasanya disimpan untuk stok sekeluarga di rumah, lainnya akan dimasukkan dalam kemasan plastik dan dibagi-bagi ke ibu-ibu siswa yang ia temui saat mengantar anaknya ke sekolah. Lagi-lagi ia menerima tanggapan positif, bahkan mereka mendukung Niken untuk menjadikankannya bisnis dan menolak kalau diberi gratis. “Teman-teman bilang jamunya enak, kenapa tidak dijual, Malah mereka memaksa beli dan tidak mau minum jamu buatan saya kalau diberi gratis lagi,” kenang Niken.

Karena konsepnya jadi “jualan”, Niken pun beralih dari plastik kiloan yang sebelumnya ia gunakan ke botol plastik yang menurutnya lebih pantas. Namun, tantangan selanjutnya adalah menentukan harga. Saat teman-teman bertanya berapa harga jamu, Niken tidak memiliki perhitungan yang pasti berapa harga jual yang sesuai. 

“Saya tidak bisa kasih harga. Saya bilang, serelanya saja, yang penting pada mau. Teman-teman bilang jangan serelanya, akhirnya saya bilang Rp5 ribu saja. Mereka malah protes, katanya kemurahan. Harusnya Rp10 ribu,” ujar Niken sambil tertawa. 

Menurut Niken, biasanya pembeli menawar harga, apalagi teman, kalau bisa malah dapat harga termurah. Tetapi Niken beruntung, teman-teman inilah yang membuatnya berani mencoba memulai bisnis yang ia geluti sampai sekarang.

 

Dapat Dukungan dari Keluarga dan Teman-teman

Selain dari teman-teman, Niken mendapat dukungan terbesar dari suaminya. Suaminya berjanji membuatkan stiker untuk mempercantik kemasan jamu buatan Niken. Namun Niken diberi tantangan menjual 1000 botol dalam 3 bulan. 

“Suami saya mau buatkan stiker, tetapi saya harus bisa jual 1000 botol dulu dalam 3 bulan. Katanya untuk memastikan kalau memang jamu saya disukai banyak orang. Siapa tahu ternyata yang suka jamu saya hanya teman-teman,” katanya. Benar saja, Niken berhasil memenuhi tantangan tersebut bahkan hanya dalam waktu 1 bulan. 

Dalam membuat jamu, Niken belajar banyak dari sang ibu. Selain itu, ia juga belajar dari tukang jamu gendongan, penjual bahan baku jamu langganannya di Yogyakarta, video di YouTube, sampai buku-buku keluaran lama yang membahas mengenai jamu. 

Ketika ditanya mengenai modal awal, ibu 3 orang anak ini mengatakan tidak mengeluarkan modal yang besar. “Dulu, modal untuk membuat 1 botol jamu kurang lebih Rp5 ribu – Rp6 ribu. Bahannya beli di pasar, alat yang digunakan juga yang ada di rumah saja,” katanya.

Sebagai brand untuk bisnis jamunya, awalnya Niken memilih nama Pawon Reged. Nama ini diambil dari bahasa jawa yang artinya dapur kotor. Nama ini dipilih karena filosofi dapur zaman dahulu itu biasanya kotor oleh jelaga bekas kayu bakar, tetapi dari sanalah makanan enak berasal, dari olahan tangan ibu yang memasak sambil berdoa agar makanan yang dibuat mengenyangkan, menyehatkan dan disukai keluarga. 

Namun ternyata banyak dikritik karena konotasinya produknya yang kotor. Karena banyak yang komentar demikian, Niken meyakini bahwa seperti itulah pandangan orang terhadap nama produknya. Akhirnya diganti menjadi Ing Pawon, artinya di dapur. Filosofinya sama, makanan dan minuman yang enak berasal dari dapur dan membawa kebahagiaan untuk mereka yang menikmati,” tandasnya.

 

Mengurangi Jadwal Praktek, Mulai Fokus Usaha dan Inovasi Bisnis 

Sebagai seorang dokter yang juga pemula dalam bisnis jamu, kendala yang Niken hadapai adalah mengenai manajemen waktu. Niken yang juga punya jadwal praktek rutin ini harus pintar-pintar memanfaatkan waktu luang yang terbatas. “Kalau ada pesanan tidak bisa langsung buat, disesuaikan dengan jadwal saya dulu. Biasanya buat jamu malam hari sepulang praktek atau saat weekend. Kalau tidak ada pesananpun tetap buat, karena saya kan stok untuk diminum sendiri juga,“ jelasnya. 

Makanya, pada tahun 2019 Niken mulai mengurangi jadwal praktek, hanya sekitar 3 kali seminggu. Hari lainya dimanfaatkan mengikuti pelatihan usaha untuk menambah pengetahuannya dalam berbisnis, dan mulai mengatur waktu lebih baik untuk produksi jamu. Ketika mulai fokus usaha inilah Niken juga bisa mengembangkan berbagai inovasi produk jamu. 

Di tangan kreatif Niken, jamu tidak hanya berupa produk ready to drink melainkan menjadi sirup, serbuk, bahkan teabag yang modern. “Ide inovasinya banyak muncul dari suami saya, saya yang eksekusi. Selain itu juga banyak yang terkendala ketahanan jamu yang memang tidak tahan lama. Inovasi pertama kami jamu model sirup,” katanya. 

Inovasi produk tentu tidak dihasilkan begitu saja tanpa perjuangan yang hebat. Tidak heran untuk mencapainya Niken harus melalui berbagai kegagalan yang tidak terhitung. Apalagi, inovasi yang dilakukan cukup unik yaitu minuman tradisional dengan varian produk dan rasa yang kekinian. 

Saat ini produk Ing Pawon bisa didapatkan baik secara online atau offline. Secara online, Anda bisa mengaksesnya melalui Pasar Daya, atau langsung ke Tokopedia dan akun Instagram Ing Pawon. 

Secara offline, Anda bisa menemukannya di beberapa retail, seperti Transmart, Gellael Supermarket cabang Jakarta dan Makassar, Food Hall, Total Buah Segar, Capital Fruit, Toko Oleh-Oleh di Gambir, juga beberapa retail di Gresik dan Surabaya. Menurut Niken, ia memang mentargetkan retail modern agar bisa menjangkau pasar yang lebih luas.


Tidak hanya jamu, Ing Pawon sudah memiliki berbagai varian rasa lho! Diantaranya 13 varian rasa jamu sirup, seperti empon-empon, sinom, pala rempah, beras kencur, jahe rempah, dan sebagainya. Ada 6 varian rasa jamu serbuk, seperti bir pletok, kunyit asam, temulawak, dan 5 varian rasa jamu celup teabag, seperti campur sari dan teh mawar. Ada juga varian jamu tisane, yaitu jamu yang dikeringkan seperti daun teh kering untuk yang lebih suka membuat jamu dengan merebus sendiri. Inovasi-inovasi tersebut tentu saja dengan tidak meninggalkan esensi bahwa jamu adalah minuman sehat tanpa pengawet tambahan. Meski demikian, Ing Pawon tetap memiliki varian jamu asli dengan rasa khas jamu tradisional.

 

Jatuh Bangun Mengelola Bisnis, Raih Omzet Tertinggi Saat Pandemi

Merintis dan membangun bisnis bukanlah hal yang mudah. Untuk memperoleh apa yang ia capai saat ini, Niken harus menghadapi berbagai tantangan dan kendala, termasuk kerugian. Ia masih ingat di awal memulai bisnis jamu, ia harus menanggung rugi lebih dari Rp2 juta akibat produk jamu yang dititip jual di salah satu toko di Puncak di retur, karena tidak laku dan akhirnya dibuang karena kedaluwarsa. 

Namun, untungnya, di masa pandemi, saat bisnis lain mengalami guncangan, Niken justru berhasil memperoleh omzet tertingginya, yaitu Rp25 juta per bulan. Pasalnya, saat pandemi banyak orang yang “kaget” mau sehat, sehingga banyak yang jadi rajin olahraga dan mengincar minuman herbal termasuk jamu. Yang tadinya tidak suka, jadi suka demi sehat dan terhindar dari COVID-19. Makanya, permintaan jamu melonjak naik. 

Niken dibantu 6 orang karyawan untuk memenuhi kebutuhan produksi jamu sejak pandemi 2020. Ia juga menawarkan produk bundling jamu dan madu sebagai strategi penjualan.

Seiring turunnya kasus COVID-19 di awal tahun 2022 ini, penjualan Ing Pawon juga ikut menurun. Jika bisnis lain sedang berbenah untuk kembali menaikkan omzet seperti saat sebelum pandemi, Niken justru sedang bersiap menghadapi ombak bagi bisnisnya. “Saya sudah tahu setelah pandemi, omzet saya akan menurun. Makanya selama pandemi, saya tidak hanya jualan, tetapi juga mengatur ulang strategi pemasaran, bisnis plan dan inovasi produk agar bisa mengikuti tren dan menjaga omzet,” jelasnya.

Selama 2 tahun pandemi, Niken memang mempersiapkan banyak hal untuk membuat bisnisnya bertahan pascapandemi. Selain itu, ia juga membekali diri dengan mengikuti kegiatan UMKM binaan dari kementrian, BUMN, termasuk dari Bank BTPN. Dari kegiatan tersebut, Niken punya banyak kenalan, dapat koneksi dari lembaga yang mengadakan pelatihan, bahkan difasilitasi dalam hal keuangan, persiapan ekspor, sampai pameran di luar negeri. Bisnisnya juga mendapat exposure melalui peliputan media.

 

Rencana ke Depan dan Motivasi Untuk Sesama Pebisnis

Berkat koneksi dari teman-teman sesama peserta kegiatan, saat ini produk Ing Pawon juga sudah tersedia di Hotel Pullman Central Park, Hotel Intercontinental Pondok Indah dan beberapa tempat spa. Niken meyakini, setelah pandemi, penjualan tidak bisa terus dilakukan secara online, karena orang-orang lambat laun sudah belanja offline lagi. Makanya, ia berencana menambah partner retail modern dan jaringan Horeca (Hotel Resto Café). 

Di tengah berbagai rencana pengembangan bisnisnya, wanita yang awet muda di usianya yang menginjak 48 tahun ini juga sedang berusaha memperbaiki strategi marketingnya agar lebih powerful. 

Untuk sesama pebisnis, Niken menyarankan untuk tetap fokus pada apa yang sedang dijalankan. “Saya pernah mengalami, karena penjualan sepi banget, jadi saya sempat coba beralih ke hal lain, tetapi ternyata ada saja yang menanyakan jamu saya lagi. Berarti kan produk saya dicari, berarti masalahnya bukan produknya tapi saya,” katanya.

Untuk teman-teman yang sedang merencanakan bisnis, Niken memberi motivasi untuk tidak terlalu mendengarkan kata orang lain, terutama yang sekadar nyinyir. “Awalnya saya sempat merasa malu jualan. Masa dokter jualan jamu, apa kata orang? Dan benar ada omongan seperti itu, tapi saya beruntung didukung oleh keluarga, berada di circle orang-orang yang berpikir optimis, bergabung dengan komunitas yang membantu scale up bisnis. Sehingga saya lebih fokus pada bisnis. Ada perkataan teman yang saya ingat sampai sekarang, katanya jamu saya enak. Kalau saya tekun, saya bisa besar dari bisnis ini. Nah, orang lain saja bisa yakin, masa saya sendiri yang menjalani tidak yakin,” kenangnya.

“Kalau mau mulai usaha, mulai dari apa yang disukai dulu. Misalnya hobi, kembangkan dari situ. Kalau mulai dari yang disukai, jalannya akan lebih ringan, karena senang. Laku tidak laku, akan enjoy, tidak jadi beban, nikmatin seluruh prosesnya. Jangan pas sepi, langsung udahan,“ tutupnya.

Semoga kisah Niken dengan Ing Pawon bisa menginspirasi Anda. Jika Anda butuh saran dan pendampingan, Anda bisa berkonsultasi dengan praktis dan trainer UMKM di Tanya Ahli.

Penilaian :

5.0

43 Penilaian

Kisah Sukses Lainnya

1 dari 3 konten bebas || Daftar dan Masuk untuk mendapatkan akses penuh ke semua konten GRATIS