Erna Zurnimawati, Pengusaha Sekaligus Pemberdaya UMKM

Dirilis

09 November 2022

Penulis

Alin Kristiasti Fohan

Pengusaha

Erna Zurnimawati

Jenis Usaha

Craft dan kerajinan batik

Hobi menjahit membawa Erna Zurnimawati menjadi salah satu pengusaha sukses di bidang kerajinan batik dan tenun. Tidak hanya sukses merintis usahanya sendiri, pemilik brand Nena Collection ini juga semangat berbagi ilmu dan pengalaman dengan rekan-rekan sesama pengusaha. Wah, pengusaha pemberdaya nih…

Erna sebetulnya telah menamatkan gelar Sarjana lulusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan. Namun kesukesannya ternyata bukan berdasarkan keilmuan yang ia milik, melainkan dari lingkungan keluarga.


Meski tidak belajar menjahit secara khusus, Erna tumbuh di tengah keluarga penjahit. Terbiasa melihat keluarganya menjahit, membuat Erna yang saat itu masih remaja tertarik untuk ikut mencoba menjahit sendiri yang lama-lama menjadi hobi. 


“Di rumah ada mesin jahit, kan zaman dulu itu orang kampung rata-rata semua punya mesin jahit. Jadi kalau di keluarga saya, semua punya mesin jahit. Kebetulan ada keluarga yang bergerak di bidang konveksi, jadi saya sering lihat. Tapi untuk menjahit sendiri, saya coba-coba sendiri dengan mesin yang ada di rumah,” jelasnya. Karya pertama yang Erna hasilkan dari menjahit sendiri adalah kuncir rambut. 

 

Ikut Pameran Terbesar di Yogyakarta pada Tahun 1992

Hobi menjahit ini rupanya berlanjut sampai Erna kuliah. Meski disibukkan dengan kegiatan perkuliahan, tangan terampil Erna masih bisa membuat sprei, gorden dan tutup komputer yang saat itu menarik perhatian teman-temannya. Makanya, saat ada pameran Gama Fair yang diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada pada tahun 1992, teman-teman memberi tahu Erna untuk ikut mendaftar. Erna pun setuju dan membayar biaya pendaftaran sebesar Rp75 ribu untuk membuka stand bersama teman sekelasnya. 

Untuk membuka stand tentu perlu punya produk yang dijual ya, apalagi waktu itu Gama Fair merupakan salah satu pameran terbesar di Yogyakarta. Alih-alih membuat sesuatu dari keahliannya menjahit, Erna justru teringat pengrajin gerabah yang sering ia kunjungi. 

“Saya kan suka nongkrong di tempat orang yang membuat gerabah. Padahal tidak kenal, tapi saya suka lihat dia mengecat, gambar. Nah, saat ada Gama Fair, saya bilang ke pengrajin gerabah itu kalau saya mau pinjam produknya untuk di jual di Gama Fair sistem konsinyasi. Ternyata dia setuju. Heran saya, padahal tidak kenal tapi kok percaya sama saya,” kenang Erna. 

Benar saja, kepercayaan si empunya gerabah ternyata tidak sia-sia. Produk gerabah yang dipamerkan laku dijual. Pasca pameran, Erna mendapat pesanan 350 potong gerabah untuk keperluan souvenir pernikahan salah satu temannya. 

Untuk desain gambar pada gerabah, Erna mengaku awalnya merasa tidak percaya diri membuat desain sendiri. Namun ia terinspirasi dari pengrajin gerabah yang sering ia kunjungi.  
“Jadi melihat dia menggambar itu, ooh ternyata gambar itu mudah. Mindset saya jadi berubah, bahwa sebenarnya tidak ada yang salah dalam menggambar. Jadi pede aja, asalkan terlihat bagus, tidak harus sama persis dengan objek aslinya,” terang wanita asli Yogyakarta ini.

 

Kerja Kantor Nyambi Jalani Usaha Sampingan

Setelah lulus dari Universitas Islam Indonesia tahun 1996, Erna bekerja di salah satu perusahaan dengan pekerjaan under pressure, bahkan membuatnya tidak banyak memiliki waktu luang. 

Erna menikah pada tahun 2000, saat itu souvenir untuk tamu undangan ia buat sendiri berupa tempat handphone. “Saya buat banyak niatnya untuk souvenir nikah saja. Kemudian ada tetangga yang bantu saya bikin kebaya. Beliau bilang, ‘Mbak, ayo kita bikin-bikin, Mbak Erna yang jual, aku yang bikin,” tutur wanita kelahiran Bantul, 30 Oktober 1973 ini. Setelah 3 tahun bekerja, Erna pun mantap untuk menjalankan usaha sampingan dibantu tetangganya dengan memproduksi sarung bantal.

Menjalankan usaha sambil bekerja tentu bukan hal yang mudah. Erna harus pintar-pintar membagi waktu. Pagi sampai sore bekerja, malamnya lanjut mengurus usaha. Untungnya, ia dibantu para 9 orang tetangga yang sekaligus juga karyawannya. 

“Waktu itu masih banyak pekerjaan yang dikerjakan sendiri, tapi tetap dibantu penjahit yang kerja dirumah masing-masing. Saya hanya cenderung ke desain dan memotong-motong pola,” ungkapnya.

Hasil produksi dari usaha sampingan tersebut kemudian dijual dengan sistem titip ke toko-toko, menurut Erna hal ini lebih praktis karena tinggal buat lalu setor ke toko. Pertama kali, ia titip ke Sarinah Yogyakarta dan Mirota Batik. Di Mirota Batik, penjualannya ternyata luar biasa. Awalnya hanya titip 20 potong sarung bantal dengan total harga Rp300 ribu, akhirnya titip per 100 potong. 

Pihak Mirota rupanya tertarik untuk mendapatkan lebih banyak hasil kreasi Erna dan memintanya membuat gorden, taplak meja dan kerajinan lainnya yang dipadu dengan bordir. Melihat peluang di depan mata, tentu saja Erna yang suka tantangan menyanggupi. “Mirota banyak request model, untuk memenuh permintaan tersebut banyak tetangga yang saya ajak kerja. Semuanya ibu rumah tangga,” katanya. 

Erna menggabungkan tenun, batik khas Jogja dan bordir untuk menciptakan hasil kreasi yang unik etnik dan tentu saja sangat laku dipasaran. 3 tahun menjalani bekerja sekaligus menjalankan usaha sampingan, Erna berhasil memperoleh omzet yang lebih besar dari gaji yang ia terima. Makanya, ia akhirnya memutuskan untuk resign dari pekerjaannya pada tahun 2005 dan fokus mengurus usaha.
Selama fokus menjalankan usaha, skill desain Erna pun mengalami peningkatan meski dipelajari secara otodidak dengan mengamati produk-produk di pertokoan modern, juga mencari referensi desain di buku dan majalah. Kemudian di modifikasi dengan bahan tradisional yaitu batik dan tenun. Beberapa kerajinan batik dan tenun hasil karya Erna dapat dilihat melalui akun Instagram @nena_batik_n_craft.

 

Mengikuti Berbagai Pameran untuk Pengembangan Bisnis


Erna tidak melewatkan kesempatan mengikuti berbagai pameran, selain untuk memperkenalkan produknya ke lebih banyak orang, dari pameran tersebutlah ia mendapat banyak pesanan. 

“Semakin ke sini, saya banyak pameran. Bisa setahun 2 kali pameran. Alhamdulillah, semua pameran yang saya ikuti termasuk pameran besar seperti Inacraft. Semua didampingi dan didanai,” imbuhnya. 

Dari pameran tersebut, Erna mendapatkan pesanan dari berbagai daerah bahkan sampai ke luar negeri. 

“Sejak pameran, penjualan saya bukan hanya retail, ada dari UKM juga. Jadi UKM yang belum bisa produksi sendiri, numpang produksi di tempat saya. Misalnya pelanggan di Makassar ada yang produksi tenun. Mereka mengirimkan bahannya ke saya, kemudian saya jahitkan, dikirimkan kembali sudah jadi barang jadi,” tandasnya.

Teman-teman Erna yang merupakan eksportir pun sering pesan produk hasil karya Erna untuk dikirim ke Spanyol dan Paris. Makanya, Erna selalu berupaya meningkatkan kualitas produknya agar tidak kalah saing dengan produk luar negeri. Erna juga mulai memiliki pelanggan tetap dari Jepang yang sampai saat ini masih bekerja sama sudah 10 tahun lebih. 

Wah, kerjasama yang langgeng pastinya karena produk buatan Erna memang berkualitas dan dapat dipercaya yah…

Meski perkembangan bisnisnya sangat memuaskan, bukan berarti Erna tidak pernah mengalami hal yang tidak mengenakkan lho! Ada salah satu pelanggannya yang sulit ditagih pelunasan pembayaran. Selain itu, tingkat persaingan yang tinggi menjadikan desain mudah ditiru. Menurut Erna, hal tersebut merupakan hal yang biasa dalam dunia bisnis. Untuk mengantisipasinya, Erna belajar desain terus menerus agar bisa mengganti model secara berkala. 

 

2 kali Terpuruk Diterpa Bencana, 2 kali Bangkit

Selama perjalanan bisnisnya, Erna harus menghadapi 2 kali bencana, yaitu saat gempa dahsyat di tempat tinggalnya, Bantul, pada tahun 2006 dan pandemi COVID-19 sejak 2020.

Pada tahun 2006, Yogyakarta dilanda oleh gempa. Usaha Erna pun ikut terdampak, padahal saat itu kinerja usahanya sedang tinggi-tingginya. Meski rumah dan alat-alat menjahitnya sempat rusak, Erna merasa bahwa usahanya tidak boleh terhenti. Ia pun segera mencari rumah kontrakan dan mengamankan alat jahit yang masih bisa digunakan, sehingga 2 minggu pasca-bencana usahanya sudah mulai bergerak lagi.

Sayangnya, tetangga yang bekerjasama dengan Erna, tidak pulih secepat dirinya, akibat kerusakan yang mereka alami. Makanya, ia terpaksa melanjutkan usahanya sendirian. Hal ini sangat tidak mudah, apalagi semua modal yang Erna miliki digunakan untuk memperbaiki rumahnya yang rusak akibat gempa.

Untuk memulai kembali, Erna memanfaatkan sisa-sisa kain perca sebagai modal untuk mulai berkreasi kembali. Susah payah membangun usaha dari 0 lagi, perlahan usaha Erna kembali membaik. Hal ini juga didukung juga dengan adanya bantuan dana sebesar Rp25 juta yang ia terima dari satu bank untuk para pelaku usaha yang terdampak bencana. 

Erna juga bersemangat mengikuti pelatihan dan pameran yang diadakan demi membangun kembali usahanya. Berkat kegigihannya, ia bahkan sempat diliput oleh media cetak nasional sebagai penerima penghargaan UKM terbaik oleh Menteri Perekonomian. 

Lalu, saat pandemi COVID-19, Erna dan keluarganya sempat terpapar, sehingga ia beserta keluarga dan karyawan harus menjalani karantina. Produksi pun berhenti total hampir 1 bulan. Terlebih, toko-toko terpaksa tutup karena aktivitas dibatasi, usaha Erna otomatis ikut lumpuh.

Setelah pulih dan dinyatakan negatif COVID-19, Erna pun mulai mencoba aktif lagi dengan menerima pesanan 4000 masker kain dari salah satu rekannya yang bekerja di salah satu instansi pemerintah. Saat itu, masker kain masih direkomendasikan untuk digunakan. Masker kain buatan Erna dikreasikan sedemikian rupa agar tidak hanya cantik dilihat tetapi juga nyaman dipakai dengan model duckbill 3 lapis. 

Produksi masker kemudian ia lanjutkan mengingat saat itu kebutuhan masker kain sangat tinggi. Erna juga bekerja sama dengan pembatik untuk mengeluarkan masker edisi kemerdekaan dengan 9 motif yang berbeda, ada juga edisi masker yang sisi kiri dan kanannya berbeda motif. Wah, kreatif sekali ya.

Uniknya masker buatan Erna pun banyak peminat dan sangat membantu mendongkrak penjualan hingga ia memiliki banyak reseller.  Masker buatannya dijual dengan harga Rp15 ribu untuk eceran, dan Rp10 ribu untuk reseller, dengan syarat, semua reseller wajib menjual kembali dengan harga yang sama yaitu Rp15 ribu. 

Dalam sehari Erna bisa menjual 200-300 potong masker kain dengan omzet mencapai Rp90 juta per bulan. Hal ini tentu seperti rejeki nomplok ditengah pandemi, Erna lega akhirnya roda usahanya bisa berputar kembali dan gaji karyawan bisa terbayar.

Ketika toko-toko mulai beroperasi kembali, Erna baru kembali memproduksi kerajinan kain seperti sebelumnya untuk memenuhi permintaan. “Setelah toko-toko buka lagi, Mirota juga mulai buka, baru bisa buat dan setor lagi produk-produk yang dulu,” ungkapnya. 

 

Pengusaha yang juga Memberi Pelatihan Usaha

Awalnya Erna dipercaya oleh Disperindag untuk mengisi pelatihan mengenai kain di Banjarmasin pada tahun 2013. Ternyata hasilnya dirasa cukup memuaskan. Tahun 2014 Erna kembali diminta untuk mengisi pelatihan di Tabalong, Kalimantan. 

Dari tidak sengaja, sampai akhirnya dipercaya mengisi pelatihan-pelatihan lainnya sampai saat ini. Untuk tahun 2023, Erna bahkan sudah dijadwalkan untuk mengisi pelatihan beberapa kota, antara lain Madiun dan Blora.

Menurut Erna, bertemu orang banyak dan sharing pengalaman membuatnya merasa lebih bermanfaat. Untuk mendukung proses pelatihan, ia berburu mesin jahit jadul yang ia beli seharga Rp500 ribu agar bisa digunakan oleh para peserta untuk praktek. Saat ini Erna sudah memiliki 13 mesin jahit yang dengan bantuan temannya, dimodifikasi menjadi mesin jahit portable yang bisa dibawa kemana-mana.  

Ke depannya, Erna ingin membuka galeri untuk wisata edukasi agar orang-orang yang datang ke Yogyakarta bisa belajar membuat produk kerajinan kain yang hasilnya bisa dibawa pulang. Bisa belanja ataupun studi banding untuk lihat proses produksinya. “Saya mau buat galeri. Jadi menyatu, ada produksi, ada penjualan retail, dan pelatihan,“ tutupnya.

Penilaian :

4.9

49 Penilaian

Kisah Sukses Lainnya

1 dari 3 konten bebas || Daftar dan Masuk untuk mendapatkan akses penuh ke semua konten GRATIS