Dirilis

17 Maret 2024

Penulis

Neysa Nadia Lestari, M.Psi., Psikolog (Tim Arsanara Development Partner)

Selama masa kampanye Pemilu 2024, tidak jarang kita menyaksikan perdebatan tidak sehat di media sosial antara pendukung calon pemimpin yang satu dengan lainnya. Namun, jika diamati, sebenarnya situasi debat yang diwarnai ujaran kebencian tidak hanya ditemukan di masa-masa kampanye Pemilu, tapi juga kerap terjadi di media sosial setiap kali ada perbedaan pendapat tentang suatu isu. Anonimitas (identitas tanpa nama) yang dapat dengan mudah dilakukan di dunia maya membuat orang cenderung lebih berani untuk mengungkapkan pendapat tanpa filter, sehingga perseteruan sering kali tidak bisa dihindari. 

Situasi ini sangat disayangkan, karena dalam situasi apapun, pada dasarnya perbedaan itu pasti ada. Apa yang membuat seseorang bisa begitu sulit bertoleransi? Dan apa yang bisa dilakukan agar kita hidup lebih damai di tengah perbedaan?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), toleran artinya bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Ketika sikap toleran ini sulit ditunjukkan, kemungkinan ada cara berpikir yang salah atau bias dalam memandang pendirian sendiri dan pendirian orang lain. Berikut beberapa kesalahan umum dalam berpikir (cognitive distortion) yang perlu dihindari. Sembari membaca, yuk coba refleksikan apakah kita memilikinya.

 

Menganggap Dunia Hitam dan Putih

“Pilihanku paling baik dan pilihan lain tidak baik.” Ketika kita menganggap pihak kita mutlak benar dan pihak lain mutlak salah, tentu keduanya menjadi tidak setara dan sulit diterima. Karena yakin merasa benar, kita jadi cenderung berpikir negatif tentang pihak lain, bahkan terkadang tidak ragu menyalahkan, menghina, maupun merendahkan. Untuk mencegah hal ini terjadi, kita perlu mengasah keterampilan yang dinamakan intellectual humility, yaitu kesadaran terhadap keterbatasan pengetahuan kita. 

Dengan kesadaran tersebut, kita mengakui bahwa apa yang kita yakini bisa saja salah karena pengetahuan yang kita miliki terbatas dan dipengaruhi oleh bias-bias tertentu. Dengan begitu, tidak perlu memaksakan pendapat kita kepada orang lain ataupun mengkritik pandangan yang berbeda. Meyakini bahwa selalu ada yang benar dan ada yang salah dari setiap pendapat akan membantu kita untuk membiarkan orang lain memiliki pendapatnya masing-masing.

 

Berasumsi dan Terlalu Cepat Menyimpulkan

Rekam jejak, gagasan dan visi misi, perilaku di depan publik, atau cara bicara adalah sebagian kecil aspek yang bisa kita lihat dari calon pemimpin. Tentu hal-hal tersebut akan menjadi data untuk membuat kesimpulan dan penilaian, namun sadari juga bahwa banyak hal lain yang tidak kita ketahui sehingga otak kita cenderung berusaha melengkapinya dengan membuat asumsi. 

Dengan berlatih menyadari mana yang berasal dari asumsi dan fakta, kita bisa lebih berhati-hati untuk membuat kesimpulan tertentu. Selain dalam menilai calon pemimpin, cara pandang ini juga perlu diterapkan dalam menilai siapapun yang berbeda dengan kita. Jangan terburu-buru menyimpulkan dan memberikan penilaian negatif hanya karena satu dua hal yang kita tahu tentang mereka.

 

Hanya Melihat Fakta yang Mendukung Keyakinan Kita

Saat ada informasi yang sejalan dengan pendapat kita, kita anggap hal tersebut benar. Namun, jika ada yang tidak sesuai, kita membuat pembenaran sendiri. Bias berpikir ini berbahaya karena membuat kita ‘tutup mata’ dengan fakta sebenarnya. Untuk mencegah bias ini, kita perlu membiasakan untuk berpikir kritis. Sadari bahwa emosi (termasuk suka atau tidak suka dengan sesuatu) turut berperan di dalam cara berpikir kita, sehingga kita perlu selalu berhati-hati dalam berpendapat. 

Periksa terlebih dahulu setiap informasi berdasarkan data objektif, bukan berdasarkan pandangan subjektif kita. Coba bayangkan kemungkinan lain jika dipandang dari sudut pandang orang yang berbeda pendapat dengan kita. 

Ada sebuah pepatah berbunyi “try as hard to understand as we do to disagree.” Saat berada dalam situasi berbeda pendapat, wajar jika reaksi spontan kita adalah ingin menyatakan tidak setuju dan menyampaikan kebenaran versi kita. Namun, alangkah baiknya jika kita bisa menahan diri sejenak untuk mencoba memahami dasar argumen pihak lain dengan menempatkan diri di posisinya. Kita tidak harus mengoreksi pendapat kita atau mengakui bahwa kita salah dan mengikuti apa yang ia anggap benar, cukup menerima bahwa masing-masing memiliki pandangan yang berbeda dan itu tidak apa-apa. 

Nah, itulah informasi tentang bagaimana mindset untuk menghadapi perbedaan pendapat. Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut terkait masalah psikologi lainnya, segera log in ke daya.id dan gunakan fitur Tanya Ahli untuk mendapat jawaban langsung dari ahlinya. Pastikan Anda sudah mendaftar di daya.id untuk mendapatkan informasi dan tips bermanfaat lainnya secara gratis.

Sumber:

Beragai sumber

Penilaian :

4.0

1 Penilaian

Share :

Berikan Komentar

Ada yang ingin ditanyakan?
Silakan Tanya Ahli

Muthmainah Mufidah, M.Psi

Psikolog Klinis Dewasa

1 dari 3 konten bebas || Daftar dan Masuk untuk mendapatkan akses penuh ke semua konten GRATIS