Informasi Artikel

Penulis Artikel

Neysa Nadia Lestari, M.Psi.

Awal November lalu, kita mendengar berita mengejutkan, terjadi sebuah ledakan di masjid sekolah di SMAN 72 Jakarta Utara, saat salat Jumat berlangsung, hingga menyebabkan puluhan siswa terluka. Setelah penyelidikan, polisi mengamankan seorang siswa sekolah tersebut sebagai tersangka dan menemukan bahwa ledakan berasal dari bom rakitan. Sejumlah informasi awal menyebut bahwa siswa tersebut cenderung menarik diri, banyak menghabiskan waktu sendiri, dan ada dugaan ia pernah menjadi korban perundungan di sekolah. 

Di tengah detail kasus yang masih berkembang, peristiwa ini menimbulkan pertanyaan serius, khususnya bagi kita para orang tua dan pendidik: Bagaimana mungkin remaja terlibat dalam tindakan berbahaya seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi pada remaja kita? Apa yang bisa kita lakukan agar kasus seperti ini tidak pernah terulang lagi?

Saat ada masalah pada anak atau remaja, kita perlu ingat bahwa perilaku remaja bukan sekadar hasil dari pilihan pribadi, tetapi gabungan dari kondisi keluarga, sekolah, teman sebaya, lingkungan sosial, hingga kesehatan mental yang mungkin belum tertangani. Ketika kita ingin mengatasi masalah pada anak dan remaja, yang harus terlebih dahulu diperbaiki adalah lingkungan orang dewasa di sekitarnya. Bukan berarti menyalahkan orang tua atau guru, tetapi menegaskan bahwa remaja tumbuh di dalam ekosistem, dan ekosistem itulah yang perlu diintervensi.

 

Faktor Risiko Penyebab Remaja Rentan Perilaku Berisiko

Berbagai studi internasional mengidentifikasi sejumlah faktor risiko yang membuat remaja lebih rentan terhadap perilaku berisiko, mulai dari tindakan berbahaya, kenakalan, hingga keputusan impulsif yang berdampak besar. Beberapa faktor risiko yang paling sering ditemukan antara lain:

  1. Kurangnya kelekatan emosional dengan orang tua. Remaja yang merasa tidak didengar atau tidak punya tempat aman untuk bercerita cenderung mencari pelarian lain, termasuk hubungan sosial yang tidak sehat atau aktivitas ekstrem.
  2. Pengawasan yang longgar atau inkonsisten. Pengawasan bukan berarti mengontrol setiap langkah, tetapi adanya kehadiran orang dewasa yang memantau dengan hangat dan jelas.
  3. Tekanan akademik dan sosial. Rasa gagal, malu, atau tertinggal bisa memicu stres kronis yang memengaruhi kemampuan mengambil keputusan.
  4. Isolasi sosial dan menarik diri. Ini sering disalahartikan sebagai “pemalu,” padahal bisa menjadi sinyal bahwa remaja sedang bergumul dengan masalah besar.
  5. Minimnya literasi kesehatan mental di lingkungan sekolah dan keluarga. Banyak remaja tidak tahu bagaimana memahami emosinya, sementara orang dewasa di sekitarnya sering tidak menangkap tanda-tanda awalnya.

Lalu, jika akar masalahnya ada pada ekosistem, apa yang bisa dilakukan orang dewasa agar remaja merasa lebih aman, terarah, dan terlindungi dari perilaku berbahaya? 

 

Langkah Orang Tua untuk Lindungi Remaja

Berikut langkah-langkah konkret, praktis, dan realistis yang dapat dilakukan orang tua, guru, maupun orang dewasa lain di sekitar mereka:

 

1. Hadir Secara Emosional, Bukan Hanya Fisik

Remaja secara alamiah akan tampak menjauh dan lebih banyak bersama teman atau gadget daripada keluarga, tetapi sebenarnya kedekatan emosional tetap menjadi fondasi utama. Dengarkan tanpa menghakimi, tanpa ceramah yang berkepanjangan. Kehadiran yang konsisten membuat remaja tahu bahwa ada tempat aman yang bisa dituju saat mereka menghadapi masalah.

 

2. Bangun Rutinitas Check-In Pendek

Guru atau orang tua tidak perlu menunggu remaja bercerita. Cukup 5–10 menit sehari atau seminggu untuk menanyakan kabar mereka, masalah-masalah yang mungkin dihadapi, atau sekadar mengingatkan bahwa kita selalu ada. Check-in yang ringan tapi rutin mencegah masalah menumpuk diam-diam.

 

3. Perkuat Aturan, Tapi Jelaskan Alasannya

Remaja ingin diperlakukan sebagai individu yang rasional. Mereka butuh ruang berdiskusi untuk merasa bahwa pendapatnya didengar dan berpengaruh. Bukan hanya diberi larangan, tetapi juga diajak memahami dampaknya. Hindari melonggarkan aturan demi menjaga kedekatan dengan remaja, ataupun memberikan aturan yang terlalu ketat tanpa mempertimbangkan kebutuhan mereka.

 

4. Ciptakan Lingkungan Sekolah yang Peka dan Responsif

Guru dan pihak sekolah bisa membuat protokol sederhana untuk mengidentifikasi siswa yang menarik diri, tampak murung, atau mengalami perubahan perilaku tiba-tiba. Tidak semua harus dirujuk ke psikolog, kadang cukup dengan perhatian khusus dan percakapan singkat dengan guru yang benar-benar peduli dan tidak menghakimi.

 

5. Ajarkan Literasi Emosi dan Coping Skills

Remaja sering kali tahu apa yang mereka rasakan, tetapi tidak tahu bagaimana cara mengelolanya. Kita bisa mengajarkannya dengan cara-cara sederhana seperti:

  • Biasakan menamai emosi 
  • Ajarkan cara menyalurkan emosi secara sehat, misalnya dengan menulis, bercerita kepada orang yang dipercaya, atau mencari wadah ekspresi lain seperti melalui seni atau olahraga.
  • Bekali teknik menenangkan diri: atur napas, afirmasi diri, ibadah, dll.
  • Dampingi remaja untuk menyusun rencana rasional dalam menghadapi masalah


 

6. Perkuat Komunitas dan Ruang Aman

Kegiatan positif seperti ekstrakurikuler, komunitas hobi, organisasi, atau volunteer, bisa menjadi pelindung penting bagi remaja. Mereka perlu ruang untuk merasa diterima, berkontribusi, dan berkembang di luar tuntutan akademik.

Kasus SMAN 72 menjadi pengingat bahwa perilaku berisiko pada remaja tidak muncul tiba-tiba; ia terbentuk dari pengalaman emosional yang panjang dan sering tidak terlihat. Tugas orang dewasa bukan mengawasi ketat atau menakut-nakuti, tetapi membangun lingkungan yang aman, hangat, dan responsif, sehingga remaja punya pegangan ketika dunia di sekitarnya terasa berat. Pada akhirnya, remaja hanya bisa tumbuh dengan baik ketika orang dewasa di sekitarnya juga tumbuh: menjadi lebih peka, lebih hadir, dan lebih siap menemani perjalanan mereka menuju dewasa.

Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut terkait masalah psikologi lainnya, segera log in ke daya.id dan gunakan fitur Tanya Ahli untuk mendapat jawaban langsung dari ahlinya. Pastikan Anda sudah mendaftar di daya.id untuk mendapatkan informasi dan tips bermanfaat lainnya secara gratis.

Sumber:

Berbagai sumber

Penilaian :

5.0

1 Penilaian

Artikel Terkait

Artikel Ahli
4.9
Kesehatan Mental

Dapat Promosi Kerjaan, Bagaimana Hubungan Suami Istri?

24 Oktober 2022

Artikel Ahli
4.9
Kesehatan Mental

Ketika Anak Berbohong, Coba Lakukan Ini

20 Desember 2023

4.8
Kesehatan Mental

Tips Mengatasi Body Shaming

16 Juli 2023

Artikel Ahli
4.9
Kesehatan Mental

Tips Mengelola Emosi di Bulan Puasa

07 April 2023

Berikan Pendapat Anda

0 dari 5 konten bebas || Daftar dan Masuk untuk mendapatkan akses penuh ke semua konten GRATIS