29 Januari 2018
Dirilis
Penulis
Majalah Franchise Indonesia
Hubungan antara franchisor (pemberi waralaba) dan franchisee (penerima waralaba) dilandasi atas dasar komitmen dan kepercayaan. Hubungan ini dapat dibangun melalui saling ketergantungan dan pemahaman yang baik terhadap manfaat satu sama lain. Keduanya harus belajar mengidentifikasi manfaat dari hubungan baik mereka.
Dalam prakteknya, hanya sedikit hubungan franchisor dan franchisee yang langgeng sampai akhir. Kebanyakan hubungan usaha waralaba berjalan melalui siklus hidup sebuah produk. Sebabnya, hubungan franchisor dan franchisee biasanya akan memburuk dipandang dari segi kepuasan franchisee. Franchisee sendiri tumbuh melalui empat fase:
Fase 1: Fase Saling Mengenal/Pacaran (Courting Phase)
Selama masa ini, guna membina hubungan yang baik, franchisor akan selalu menampilkan yang terbaik untuk memikat calon franchisee potensial guna mengambil sebuah usaha waralaba yang ditawarkan. Dalam tahapan ini, biasanya hubungan, pengertian dan kepercayaan mulai dibangun. Di tahap ini banyak franchisee sangat optimis dan berharap usaha waralabanya akan berjalan dengan baik.
Fase 2: Fase Bulan Madu (Honeymoon Phase)
Fase ini dimulai setelah penandatangan perjanjian waralaba: seperti setelah penandatangan sertifikat/surat perkawinan. Sementara franchisee mulai dengan pelatihan untuk menjadi franchisee yang berkualitas. Franchisor memberikan pelatihan, mempekerjakan staf, promosi, grand opening toko/outlet dan tata letak. Dukungan yang diberikan dapat memperkuat hubungan dan franchisee akan merespon dengan hubungan yang kooperatif dengan franchisor.
Layaknya sebuah perkawinan yang baru, masa bulan madu dapat dengan cepat berakhir, bila franchisee merasa sistem dukungan yang diberikan tidak mencukupi dan franchisee merasa tak terpuaskan.
Fase 3: Fase Setelah Bulan Madu (The Post-Honeymoon Phase)
Pada fase ini, franchisee telah mendapat banyak pengalaman. Dalam beberapa kasus tertentu franchisee menjadi lebih mandiri. Franchisee mulai bertanya tentang keuntungan usaha waralaba.
Kebanyakan franchisee akan bertanya tentang alasan membayar royalti. Mereka menganggap kesuksesan yang diraih selama ini adalah hasil kerja kerasnya. Serta mempertanyakan kebutuhan, produk, dan servis yang disuplai oleh franchisor.
Fase 4: Fase Konflik dan Perceraian (The Conflict and Divorce Phase)
Fase ini ditandai dengan adanya pertanyaan lebih jauh mengenai pembatasan-pembatasan yang dibuat oleh franchisor. Alhasil franchisee mulai acuh dengan tanggung jawabyang harus ia penuhi.
Permasalahan ini kadang diperburuk lagi dengan merosotnya usaha (penjualan dan keuntungan) yang menurun. Pada fase ini seorang franchisee yang berjiwa wirausahawan tinggi lebih memilih menyudahi perjanjian dibanding yang lain. Kemungkinan besar, usaha waralaba akan “cerai” dan franchisee akan memulai membuat usaha sendiri.
Dalam prakteknya, hanya sedikit hubungan franchisor dan franchisee yang langgeng sampai akhir. Kebanyakan hubungan usaha waralaba berjalan melalui siklus hidup sebuah produk. Sebabnya, hubungan franchisor dan franchisee biasanya akan memburuk dipandang dari segi kepuasan franchisee. Franchisee sendiri tumbuh melalui empat fase:
Fase 1: Fase Saling Mengenal/Pacaran (Courting Phase)
Selama masa ini, guna membina hubungan yang baik, franchisor akan selalu menampilkan yang terbaik untuk memikat calon franchisee potensial guna mengambil sebuah usaha waralaba yang ditawarkan. Dalam tahapan ini, biasanya hubungan, pengertian dan kepercayaan mulai dibangun. Di tahap ini banyak franchisee sangat optimis dan berharap usaha waralabanya akan berjalan dengan baik.
Fase 2: Fase Bulan Madu (Honeymoon Phase)
Fase ini dimulai setelah penandatangan perjanjian waralaba: seperti setelah penandatangan sertifikat/surat perkawinan. Sementara franchisee mulai dengan pelatihan untuk menjadi franchisee yang berkualitas. Franchisor memberikan pelatihan, mempekerjakan staf, promosi, grand opening toko/outlet dan tata letak. Dukungan yang diberikan dapat memperkuat hubungan dan franchisee akan merespon dengan hubungan yang kooperatif dengan franchisor.
Layaknya sebuah perkawinan yang baru, masa bulan madu dapat dengan cepat berakhir, bila franchisee merasa sistem dukungan yang diberikan tidak mencukupi dan franchisee merasa tak terpuaskan.
Fase 3: Fase Setelah Bulan Madu (The Post-Honeymoon Phase)
Pada fase ini, franchisee telah mendapat banyak pengalaman. Dalam beberapa kasus tertentu franchisee menjadi lebih mandiri. Franchisee mulai bertanya tentang keuntungan usaha waralaba.
Kebanyakan franchisee akan bertanya tentang alasan membayar royalti. Mereka menganggap kesuksesan yang diraih selama ini adalah hasil kerja kerasnya. Serta mempertanyakan kebutuhan, produk, dan servis yang disuplai oleh franchisor.
Fase 4: Fase Konflik dan Perceraian (The Conflict and Divorce Phase)
Fase ini ditandai dengan adanya pertanyaan lebih jauh mengenai pembatasan-pembatasan yang dibuat oleh franchisor. Alhasil franchisee mulai acuh dengan tanggung jawabyang harus ia penuhi.
Permasalahan ini kadang diperburuk lagi dengan merosotnya usaha (penjualan dan keuntungan) yang menurun. Pada fase ini seorang franchisee yang berjiwa wirausahawan tinggi lebih memilih menyudahi perjanjian dibanding yang lain. Kemungkinan besar, usaha waralaba akan “cerai” dan franchisee akan memulai membuat usaha sendiri.
Sumber:
Majalah Franchise Indonesia
intan sari
20 October 2024
membaca adalah kunci kehidupan untuk lebih baik
Balas
.0
Bayu aji
20 October 2024
menuju Indonesia emas dan cerdas
Balas
.0
Yuni Ayunda
20 October 2024
daya tetap yang terbaik untuk saya
Balas
.0
Dastan
20 October 2024
tetap sukses dan mensejahterakan usahawan
Balas
.0
Gunawan
20 October 2024
membantu sesama adalah indah terimakasih daya.id ilmunya
Balas
.0