Belakangan ini, berita seorang kepala sekolah SMA yang menampar muridnya karena merokok di lingkungan sekolah ramai diberitakan. Kejadian tersebut menuai kontroversi, terlebih karena orang tua siswa marah dan kepala sekolah tersebut sempat dinonaktifkan. Sebagian masyarakat mendukung tindakan kepala sekolah tersebut, dengan alasan bahwa anak memang perlu “diberi pelajaran.” Namun sebagian lain menolak, menilai bahwa kekerasan fisik tidak sejalan dengan nilai pendidikan. Kasus ini seolah membuka kembali perdebatan lama: bagaimana cara menanamkan disiplin tanpa kekerasan, terutama pada anak usia remaja yang sedang mencari jati diri?
![]()
Disiplin Bukan Sekadar Hukuman
Di dalam perspektif psikologi perkembangan dan teori pengasuhan, disiplin didefinisikan sebagai proses belajar mengatur diri, bukan sekadar mematuhi perintah atau takut pada hukuman. Remaja berada pada tahap di mana kemampuan berpikir abstrak dan moralnya mulai berkembang. Mereka mulai mempertanyakan “mengapa” suatu aturan dibuat, bukan hanya “apa” aturannya. Maka, ketika guru atau orang tua menegakkan aturan tanpa penjelasan, anak bisa menilai bahwa aturan itu tidak adil atau sekadar bentuk kekuasaan.
Penelitian menunjukkan bahwa pendekatan disiplin yang mengedepankan dialog dan empati jauh lebih efektif dalam menurunkan perilaku negatif dan meningkatkan tanggung jawab sosial. Hukuman fisik justru cenderung menimbulkan perasaan dendam, ketakutan, atau pemberontakan, yang dalam jangka panjang menghambat pembentukan karakter positif. Saat mendapatkan hukuman fisik tanpa upaya dialog atau pencegahan, anak hanya akan menghindari melakukan sesuatu karena rasa takut, bukan karena benar-benar memahami apa alasannya.
Menegakkan Aturan Tanpa Kekerasan
Tidak menerapkan aturan dengan kekerasan bukan berarti permisif atau membiarkan anak bebas melakukan hal-hal yang melanggar aturan. Ada strategi-strategi lain yang bisa dilakukan untuk membantu anak mengikuti aturan. Disiplin yang baik adalah yang bisa membentuk perilaku anak dan membantu menyiapkan anak menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab, tetapi dengan tetap menghargai anak sebagai seorang individu.
Beberapa pendekatan yang terbukti efektif untuk usia remaja antara lain:
1. Restorative discipline
Pendekatan ini bukan berfokus pada hukuman saja, tetapi pada solusi, rasa tanggung jawab, dan keterlibatan komunitas. Ketika siswa melanggar aturan, guru tidak langsung menghukum, melainkan mengajak berdialog: apa yang terjadi, siapa yang terdampak, dan bagaimana memperbaikinya. Misalnya, siswa yang merokok bisa diajak berdialog untuk mendiskusikan mengenai perilaku mereka, diminta membuat proyek kecil tentang bahaya merokok, dan pihak sekolah melakukan diskusi dengan pihak keluarga untuk berkolaborasi bersama; alih-alih langsung memberikan hukuman fisik atau skors. Pendekatan ini menumbuhkan rasa tanggung jawab, bukan sekadar rasa bersalah.
2. Konsekuensi alami dan logis
Anak belajar memahami bahwa setiap tindakan memiliki akibat. Jika melanggar aturan sekolah, mereka bisa kehilangan hak tertentu, seperti tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan tertentu sementara waktu. Konsekuensinya jelas, relevan dengan kesalahan anak, tidak bersifat mempermalukan, dan disampaikan di awal. Misalnya, siswa yang tidak mengumpulkan PR tidak dihukum berdiri di depan kelas, tetapi diminta untuk mengerjakan PR-nya di waktu istirahat atau setelah jam sekolah berakhir.
3. Keterlibatan teman sebaya
Program peer mentoring terbukti membantu remaja lebih mudah menerima nasihat dari orang yang dianggap “setara.” Teman sebaya bisa menjadi model perilaku positif tanpa nuansa menghakimi.
4. Kontrak perilaku bersama
Guru dan siswa dapat membuat kesepakatan di awal tahun ajaran mengenai aturan kelas. Dengan cara ini, aturan tidak terasa dipaksakan, melainkan hasil komitmen bersama.
Pendekatan semacam ini memang membutuhkan waktu dan kesabaran. Namun, hasilnya lebih tahan lama karena anak belajar menginternalisasi nilai, bukan sekadar takut pada otoritas.
Pentingnya Berkolaborasi dengan Orang Tua
Sekolah adalah tempat anak berlatih mengikuti aturan sosial, tetapi pondasi kedisiplinan dibangun di rumah. Remaja yang terbiasa melihat orang tuanya menegakkan batas dengan konsisten dan menghargai orang lain akan lebih mudah menerima disiplin di sekolah.
Sayangnya, sering kali ketika terjadi pelanggaran di sekolah, hubungan antara guru dan orang tua sering kali berubah menjadi saling menyalahkan. Orang tua merasa guru terlalu keras, guru merasa orang tua tidak mendukung. Padahal, keduanya sedang mengejar tujuan yang sama: membantu anak tumbuh menjadi pribadi bertanggung jawab.
Kolaborasi bisa dilakukan dengan beberapa cara sederhana:
- Membuka komunikasi dua arah antara sekolah dan orang tua, bukan hanya saat anak bermasalah.
- Mengadakan sesi edukasi ke orang tua untuk berbagi strategi menghadapi perilaku anak.
- Menyepakati nilai dan batas yang sama antara rumah dan sekolah, agar anak tidak menerima pesan yang bertentangan.
Ketika guru dan orang tua sepakat dan memiliki nilai yang sama, anak akan memahami konsistensinya dan lebih menerapkan aturan, daripada ketika aturan di rumah dan di sekolah sangat berbeda.
Disiplin yang Mendidik, Bukan Menyakiti
Kekerasan mungkin membuat anak diam untuk sementara, tapi tidak membuatnya belajar. Disiplin yang efektif justru menumbuhkan kemampuan anak untuk berpikir, menyesal, dan memperbaiki diri. Guru dan orang tua memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa setiap bentuk teguran, konsekuensi, atau batasan diberikan dengan niat mendidik, bukan untuk melampiaskan emosi.
Pada akhirnya, kedisiplinan lahir dari rasa hormat, bukan ketakutan. Rasa hormat itu tumbuh ketika anak merasa didengarkan, dihargai, dan diberi kesempatan untuk belajar dari kesalahannya.
Menegakkan disiplin ke anak bukan hanya tentang kekerasan atau membiarkan. Ada strategi-strategi yang dapat dilakukan agar nilai-nilai yang ingin ditanamkan dapat terinternalisasi dengan baik, tanpa membuat anak merasa tersakiti. Tentu prosesnya lebih panjang daripada sekedar memukul anak, tetapi menurut berbagai penelitian, dampaknya pun akan lebih menetap jangka panjang.
Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut terkait masalah psikologi lainnya, segera log in ke daya.id dan gunakan fitur Tanya Ahli untuk mendapat jawaban langsung dari ahlinya. Pastikan Anda sudah mendaftar di daya.id untuk mendapatkan informasi dan tips bermanfaat lainnya secara gratis.
Sumber:
Berbagai sumber
Berikan Pendapat Anda