Dirilis

22 November 2023

Penulis

Dyah Larasati, S.Psi., S.E., M.Psi., Psikolog (Tim Arsanara Development Partner)

Apa salah satu hal yang paling kompleks dalam kehidupan ini? Tentunya hubungan antar manusia. Menjalin hubungan dengan manusia lain bisa terasa bagaikan memasuki labirin emosi yang kompleks. Bagaimana latar belakang kehidupan masing-masing individu membentuk persepsi yang mewujudkan suatu pikiran, memengaruhi perasaan dan akhirnya melahirkan tindakan. 

Jangankan memahami isi kepala orang lain, terkadang isi kepala dan hati diri sendiri pun tidak serta merta dapat dimengerti. Tiga masalah saling terkait dalam suatu hubungan yang kerap kali ditemukan diantaranya adalah yang biasa disebut toxic relationship, fenomena back burner, dan trust issues. Apa dan bagaimanakah hubungan antar ketiganya serta pengaruhnya satu sama lain?

 

Toxic Relationships, Jerat Hubungan yang Negatif

Sesuai dengan artinya, toxic relationship atau hubungan yang ‘beracun’ merupakan hubungan yang tidak sehat, dimana hubungan ini ditandai oleh adanya pola perilaku negatif seperti manipulasi, kontrol, kekerasan emosi maupun fisik, atau konflik yang terus menerus. Dinamika negatif dalam hubungan tersebut dapat menguras emosi dan merugikan kesejahteraan seseorang. Individu yang berada dalam hubungan toxic ini pun mungkin mengalami berbagai masalah emosi dan psikologis seperti kecemasan, depresi, dan perasaan rendah diri.

Secara psikologis, hubungan toxic seringkali berakar dari pola kelekatan (attachment style) yang dikembangkan pada masa kecil. Teori Kelekatan dari John Bowlby menyatakan bahwa interaksi dengan orang tua atau pengasuh utama membentuk gaya kelekatan seseorang. Individu yang cemas seringkali secara terus menerus mencari jaminan/kepastian dan kedekatan dalam suatu hubungan, sementara individu yang menghindar (avoidant) mungkin menjauh ketika situasi menjadi terlalu intens secara emosi. Tipe-tipe kelekatan ini dapat mendorong keberlangsungan siklus toxic.

Seseorang mungkin tetap berada dalam hubungan toxic karena adanya rasa takut akan ditinggalkan, bahkan ketika hal tersebut berarti membuatnya mengalami kekerasan emosional. Ketakutan ini seringkali berasal dari pengalaman masa lalu atau trauma masa kecil, yang mendorong individu untuk berpegang pada sesuatu yang terasa akrab, meskipun sesuatu itu tidak baik dan merusak dirinya.

Melepaskan diri dari hubungan toxic memerlukan seseorang untuk dapat mengenali pola destruktifnya. Terkadang, seseorang mengetahui bahwa perilakunya keliru, namun tidak menyadari dampak perilakunya kepada pasangannya. Jadi bisa saja seseorang merasa berada dalam sebuah hubungan yang tidak sehat namun tidak menyadari bahwa ia adalah sumber ‘racun’ dalam hubungan tersebut. Atau bisa juga seseorang merasa hubungannya tidak sehat, namun karena sering disalahkan oleh pasangannya, justru merasa dirinya yang bersalah. Konseling atau terapi psikologis dapat memberikan dukungan, bimbingan dan strategi kepada seseorang untuk dapat mengambil kembali kendali hidup dan kesejahteraan emosinya.

 

Fenomena “Back Burner,” Teman dengan Maksud Terselubung

Di era digital seperti saat ini, fenomena back burner semakin marak terdengar. Istilah ini mengacu pada usaha untuk menjaga hubungan baik bahkan cenderung romantis dengan orang lain selain pasangan utama, dengan harapan suatu hari jika hubungan dengan pasangan utamanya tidak berlanjut maka mereka dapat menjalin hubungan romantis. 

Biasanya individu yang memiliki back burner terlibat dalam komunikasi online yang intens, menyenangkan, temu muka, berteman dalam sosial media, sementara pasangan utamanya tidak menyadarinya. Tidak serta merta dapat dikatakan berselingkuh karena seorang individu dengan back burner yang dimilikinya tidak membuat suatu komitmen hubungan atau memberikan label di luar pertemanan.

Secara psikologis, fenomena back burner mencerminkan kurangnya komitmen dan investasi emosional dalam hubungan utama. Hal ini pada akhirnya jika kemudian diketahui oleh pasangan utama, dapat menimbulkan perasaan cemburu, ketidakpercayaan, merasa hubungannya tidak aman, hingga perasaan dikhianati. 

Dalam mengatasi masalah back burner, diperlukan komunikasi terbuka dan jujur antara pasangan untuk dapat saling memahami kebutuhan, kekhawatiran dan batasan masing-masing. Konseling atau terapi dapat memfasilitasi diskusi-diskusi ini dan membantu pasangan dalam membangun kembali kepercayaan terhadap satu sama lain.


 

Trust Issues, Pondasi yang Rapuh

Kepercayaan adalah dasar dari hubungan yang sehat. Namun, masalah kepercayaan dapat muncul akibat pengkhianatan di masa lalu, pengalaman traumatik, atau sebagai dampak dari hubungan yang toxic dan dinamika back burner. Membangun kembali kepercayaan dapat menjadi suatu proses yang rumit, dan seringkali membutuhkan waktu dan kesabaran.

Dari segi kognitif, masalah kepercayaan dapat ditelusuri akarnya melalui terapi perilaku kognitif (Cognitive-Behavioral Therapy / CBT). Pendekatan terapi ini adalah dengan mengamati pola pikiran yang mendasari masalah kepercayaan yang ada, seperti kebiasaan berpikir negatif dan kecenderungan untuk menduga hal yang terburuk. Mengidentifikasi dan menantang pola pikiran ini adalah langkah utama dalam membangun kembali kepercayaan.

Salah satu yang penting untuk dipahami adalah bahwa kepercayaan adalah sesuatu yang tidak begitu saja bisa diberikan tanpa syarat, melainkan harus diperoleh dan diperjuangkan. Kedua belah pihak dalam suatu hubungan perlu berusaha secara aktif dalam membangun kepercayaan melalui tindakan yang konsisten dan jujur.

Terapi, khususnya terapi pasangan, adalah sumber daya berharga dalam mengatasi masalah kepercayaan. Seorang terapis yang mumpuni dapat membimbing pasangan dalam menjalankan proses membangun kembali kepercayaan, membantu pasangan/individu dalam memahami akar permasalahan dari masalah kepercayaan yang mereka miliki, dan menyusun strategi untuk bisa berkembang lebih baik kedepannya.

 

Hubungan yang Tidak Sehat, Masih Bisakah Diperbaiki?

Hubungan yang toxic, fenomena back burner dan masalah kepercayaan seringkali saling berkaitan dan memengaruhi satu sama lain. Hubungan toxic dapat menjadi awal mula masalah kepercayaan terbentuk, dan individu yang terperangkap di dalamnya mungkin mencari penghiburan atau validasi dari back burner. Namun demikian, hal tersebut akan lebih lanjut mengikis kepercayaan dan memperburuk isu yang sebelumnya sudah ada. Interaksi dari ketiga masalah ini membuat suatu hubungan menjadi semakin rumit dan tidak sehat. Apakah hubungan yang tidak sehat ini masih dapat diubah? Bisa, tapi hanya dengan catatan jika kedua belah pihak mampu mengenali pola hubungan yang toxic, memiliki komitmen yang sama dalam menghadapinya, mendorong komunikasi terbuka dan aktif bekerja membangun kepercayaan sehingga pada akhirnya dapat mendorong pada pemulihan, pertumbuhan dan hubungan yang lebih kuat. 

Lantas, apa tandanya suatu hubungan sudah tidak sehat? Menurut pakar hubungan dan terapis John Gottman, terdapat 4 pola perilaku indikator yang disebut “The Four Horsemen of Apocalypse”, yang dapat memprediksi kemungkinan terjadinya perpisahan pada suatu pasangan secara akurat, bahkan pada pasangan yang terlihat bahagia, yaitu:


 

1.    Criticism (Sikap Mencela)

Mencela berbeda dengan memberikan saran atau masukan. Jika saran atau masukan diberikan untuk memperbaiki suatu perilaku, maka mencela merupakan serangan personal terhadap kepribadian ataupun penampilan pasangan. Seringkali perilaku mencela berujung pada permainan kekuasaan, siapa yang lebih kuat dan siapa yang lebih lemah. Salah satu mulai menyerang karakter lainnya dengan memberi julukan misalnya cengeng, sensitif, pembohong, dan lainnya. Dalam banyak hubungan, seseorang bisa menjadi abusive dengan bersikap seolah mereka sedang memberikan saran, ketika kenyataannya yang mereka lakukan adalah mengikis harga diri pasangannya pelan-pelan. Untuk dapat menghindari perilaku mencela ini, pastikan ketika memberikan masukan fokus pada perilaku yang dimaksud dan tidak menyerang secara personal.

 

2.    Contempt (Penghinaan/sikap merendahkan)

Tidak dipungkiri ada kalanya suatu konflik dapat menimbulkan rasa marah, dan ini adalah suatu hal yang wajar. Namun sikap merendahkan adalah bentuk marah yang jauh lebih buruk, dimana muncul sikap mengabaikan kebutuhan dan kemanusiaan pasangan lainnya. Contohnya meledek emosi pasangan, secara sengaja mengabaikan dan menganggap sepele kebutuhan pasangan, mempermalukan pasangan di depan umum baik sengaja atau tidak, atau bahkan menolak untuk memberikan kenyamanan pada pasangan yang sedang merasa sedih. Walaupun terkadang perilaku merendahkan ini bisa muncul tanpa disengaja, namun jika terjadi berulang-ulang maka dapat menjadi awal dari kehancuran sebuah hubungan, terutama karena biasanya perilaku merendahkan akan memancing pasangan lainnya melakukan hal yang sama. 

 

3.    Defensiveness (Perilaku defensif)

Perilaku defensif biasanya merupakan respon ketika seseorang merasa dituduh atau dipersalahkan. Walaupun wajar untuk sekali-kali bersikap defensif, namun perlu disadari bahwa bersikap defensif tidak akan menyelesaikan suatu permasalahan. Ketika seseorang bersikap defensif, ia akan mencari-cari alasan dan bersikap sebagai korban untuk menghentikan tuduhan dan terkadang kemudian berbalik melemparkan tuduhan kepada pasangannya. Perilaku ini terkadang dapat ditangkap sebagai sinyal bahwa seseorang tidak mau bertanggung jawab dan tidak peduli terhadap kekhawatiran pasangannya. Untuk menghindari permasalahan yang berlarut-larut, ambil tanggung jawab dengan menyadari bahwa masing-masing individu memiliki kontribusi dan peran dalam suatu permasalahan, baik disengaja atau tidak.

 

4.    Stonewalling

Stonewalling adalah penolakan untuk terlibat dalam sebuah percakapan secara aktif dalam waktu yang lama. Contoh perilakunya adalah mendiamkan pasangan dan menarik diri dari sebuah diskusi atau permasalahan sehingga menimbulkan kesan tidak peduli. Disebut stonewalling karena seolah sedang berhadapan dengan dinding batu yang keras dan tidak bisa ditembus. Biasanya, seseorang melakukan stonewalling karena tidak memiliki kemampuan resolusi konflik yang dibutuhkan. Perilaku stonewalling yang menetap membuat permasalahan menjadi semakin bertumpuk dan konflik tidak dapat diselesaikan. Untuk menghindari perilaku ini dan salah paham yang dapat ditimbulkan, buat kesepakatan mengenai durasi waktu yang dibutuhkan untuk menenangkan diri dan kapan akan kembali melakukan pembahasan yang diperlukan dalam keadaan emosi yang lebih tenang.

Pada dasarnya, dalam perjalanannya setiap hubungan memiliki dinamika dan tantangannya masing-masing. Masalah atau konflik dalam suatu hubungan adalah suatu kewajaran. Yang terpenting adalah bagaimana suatu pasangan memiliki tekad dan usaha yang sama dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Dari sini dapat kita lihat bahwa insight dan kesadaran psikologis masing-masing individu serta bantuan professional adalah kunci untuk dapat mengurai permasalahan dalam suatu hubungan. Jadi, sudah sehatkah hubungan Anda dengan pasangan?

Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut terkait masalah psikologi lainnya, segera log in ke daya.id dan gunakan fitur Tanya Ahli untuk mendapat jawaban langsung dari ahlinya. Pastikan Anda sudah mendaftar di daya.id untuk mendapatkan informasi dan tips bermanfaat lainnya secara gratis.

Sumber:

Artikel : berbagai sumber

Foto : freepik.com

Penilaian :

4.9

21 Penilaian

Share :

Berikan Komentar

TA Herly Marwanto

12 Pebruari 2024

ok sip

Balas

. 0

Dea Indah Riani Putri

11 Desember 2023

👍👍

Balas

. 0

Dea Indah Riani Putri

11 Desember 2023

👍👍

Balas

. 0

Rita Febrina

10 Desember 2023

Jika sudah berkata kasar berarti itu sudah toxic

Balas

. 0

Welis Melia

09 Desember 2023

Terimakasih informasinya

Balas

. 0

Ada yang ingin ditanyakan?
Silakan Tanya Ahli

Muthmainah Mufidah, M.Psi

Psikolog Klinis Dewasa

1 dari 3 konten bebas || Daftar dan Masuk untuk mendapatkan akses penuh ke semua konten GRATIS