Sukses Bisnis Jahe Merah dari Modal 350 Ribu

Dirilis

02 Juli 2020

Penulis

Majalah Franchise Indonesia, Mitra Strategis Program Daya Sejak 2014

Pengusaha

Yunan F Bintoro

Jenis Usaha

Minuman berbasis jahe

Yunan F Bintoro sukses mewujudkan cita-citanya menjadi pengusaha, dengan memproduksi minuman berbahan dasar jahe merah, menggunakan merek Jahe Merah Mororeno. Ia sudah balik modal di tahun ke tiga, dan kini menyulap modal Rp350 ribu menjadi Rp600 juta per tahun. Bagaimana kisah suksesnya?

Cita-Cita yang Tidak Sampai

Sejak lulus dari bangku SMA, Yunan memang sudah bercita-cita punya bisnis sendiri. Saat kuliah, ia sudah mulai merealisasikan cita-citanya dengan membuka barbershop. Namun sayang, orangtuanya tak mendukung. Setelah lulus kuliah, ia malah dipaksa orang tuanya untuk bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Meski berat hati, Yunan menuruti perintah orangtuanya dan pergi merantau, untuk menjadi sales produk kimia, produk perawatan industri.

“Profesi ini saya jalani selama 10 tahun. Beberapa tahun menjadi top performer. Sampai pada suatu titik, saya merasa jenuh. Jadi trouble maker, performa buruk, dan akhirnya dipecat,” kenangnya.  

Dipecat dari perusahaan tidak membuatnya putus asa. Justru itulah titik balik hidupnya untuk kembali menekuni dunia bisnis. “Waktu itu saya pikir, inilah saatnya saya membuat bisnis sendiri. Bisnis apa saja saya coba, termasuk bisnis bidang kimia.  Hasilnya babak belur. Duit malah habis. Tapi life must go on. Akhirnya apa saja saya kerjakan asal ada rejeki. Kondisi ini juga berjalan 10 tahun. Kismin dah,” katanya.

Mewujudukan Cita-Cita Menjadi Pengusaha dengan Memulai dari Hobi

Sampai pada suatu waktu, seorang sahabat lama datang menemui Yunan dan memberi ide untuk bisnis berbasis minuman jahe, sesuai hobinya. “Sahabat saya bilang, saya kan hobi minum jahe, kenapa tidak mulai bisnis yang berbasis minuman jahe? Di situlah saya mulai yakin menggeluti bisnis jahe pada Oktober 2012,” jelasnya.

Untuk membuat resep, Yunan bertanya kepada orang tua, tetangga, penjual bumbu di pasar, dan menggali informasi dari website dalam dan luar negeri. Ia menghabiskan waktu 1,5 tahun untuk belajar dan riset sebelum terjun langsung di bisnis ini. Untuk teknik membuat sirup ekstrak jahe-nya sendiri ia belajar secara otodidak melalui  Youtube. Modal yang ia siapkan hanya Rp350 ribu. Rp250 ribu untuk membeli bahan baku, dan sisanya untuk pengiriman.

Dari belanja, produksi, mengemas, sampai mengirim produk, Yunan kerjakan sendiri. Jam produksi dimulai dari jam 9 malam sampai hari berganti. Kenapa baru mulai malam? Yunan mengaku baru bisa menggunakan dapur rumahnya pada waktu tersebut, karena harus menunggu istrinya selesai memasak. Peralatan yang dipakai pun masih peralatan dapur rumah. Sebagian lagi dari kado pernikahan yang belum sempat dipakai. Bahan baku yang digunakan pun seadanya. Kadang dibeli di pasar retail, bukan pasar induk, kadang di supermarket. “Pikiran saya waktu yang penting produksi jalan, suplai terjaga. Pelanggan puas dan jadi setia. Adapun untung itu soal nanti. Nah, setelah beberapa bulan barulah saya memperoleh bahan baku dari pasar induk. Dengan harga yang kompetitif. Di sinilah untung saya mulai masuk” jelasnya.  

Yunan memulai penjualan pertamanya di wilayah Cilegon. Untuk pengiriman, ia sendiri yang mengantar ke Cilegon dari rumahnya di Jakarta menggunakan motor. “Saya menempuh jarak 125 km dari rumah atau 250 km pulang pergi untuk omzet yang kurang dari Rp 500 ribu,” sambungnya.

Pentingnya Menganalisa Potensi Persaingan

Menurut Yunan, menganalisis bisnis adalah salah satu hal yang penting, terutama untuk melihat potensi persaingan. “Waktu itu saya sebenarnya sudah membuat serbuk jahe. Tapi setelah saya lihat di pasar, pemain serbuk jahe sudah banyak. Bahkan ada merek yang sudah jadi leader. Hal ini membuat saya berpikir. Pertama, berarti saya masuk ke kerumunan gajah. Akan sangat susah untuk mencari celah dan potensi kena injaknya cukup besar. Kedua, karena pemain-pemain senior sudah ada, artinya produk saya akan dibandingkan dengan para senior tersebut,” bebernya.  

Konsumen yang sudah akrab dengan citarasa produk senior, mungkin saja hubungan keagenannya sudah terjalin baik selama bertahun-tahun. Dan ini yang Yunan rasa kelak akan memberatkan bisnisnya. Karena itu ia putuskan membuat produk yang berbeda, dan berharap memilik barrier-to-entry yang cukup tinggi. Pilihannya jatuh kepada produk sirup ekstrak dengan merek Jahe Merah Mororeni.

Awalnya Tanpa Target

Sejak awal meluncurkan produknya, Yunan mengaku tidak memiliki ekspektasi apapun. Ia hanya fokus pada bagaimana pelanggan menerima produk dan feedback dari mereka. Kritik, saran, dan testimoni pelanggan sangat ia perhatikan, mengingat konsep produk jahe siap saji dengan barbagai varian mungkin menjadi hal yang baru di Indonesia. Menurut Yunan, sesuatu yang baru biasanya mendatangkan masalah-masalah baru. Apalagi waktu itu, varian rasa yang ia tawarkan juga belum lumrah di masyarakat seperti jahe merah original, jahe jeruk nipis atau lemon, jahe merah madu dan bir jawa.

Setelah merekap hasil penjualan selama 3 bulan dari booth pertamanya, barulah Yunan membuat target penjualan dan keuntungan meski tidak banyak. “Saya buat target untung sangat rendah waktu itu. Sekedar untuk hidup sehari-hari secara wajar, tidak menjadi beban bagi orang lain. Sangat sederhana dan tidak muluk-muluk,” katanya. Ia meyakini, bisnis bidang manufaktur tidak perlu mematok keuntungan terlampau tinggi dari harga produk, agar pemegang booth penjualan bisa menikmati keuntungan yang layak dan pelanggan memperoleh harga yang terjangkau. Yang penting, pembeli konsisten untuk beli dan beli lagi. “Manufaktur baru bisa memperoleh keuntungan yang cukup apabila mampu mencatak volume penjualan yang besar,” jelasnya.  

Membangun Pemasaran dengan Skema Kemitraan

Menurut Yunan, Mororene adalah bisnis jahe yang mungkin pertama kali menggunakan pendekatan yang berbeda dalam pemasaran. Ia membuat sirup ektrak dengan tujuan agar sirup tersebut bisa dicampur dengan minuman lain, sehingga menjadi varian baru. “Artinya, agar potensi penggunaannya lebih luas. Tidak hanya satu atau dua varian siap menu saja, misal jahe murni atau jahe susu. Banter-banternya tambah STMJ. Varian saya harus lebih banyak bisa lebih dari 10 varian jahe merah siap minum,” ujarnya berpromosi.

Agar cepat bisa menghasilkan omset, maka produk harus sesegera mungkin dikonsumsi. Itulah dalam benak pemikiran Yunan. Dan agar bernasib baik, konsumsinya harus ajeg. Setelah menimbang beberapa opsi strategi penjualan, maka pilihan ia memilih membuka booth di trotoar yang dirasa ber-traffic bagus. “Karena modal yang mepet dan pasti tidak cukup. Wong cuma Rp350 ribu,” katanya. Walhasil, ia harus merayu investor untuk membuat booth dan menyediakan alat-alat. Agar lebih menarik bagi investor, Yunan tidak menggunakan skema bagi hasil, tapi jual beli sirup. “100% keuntungan penjualan via booth, menjadi hak investor,” jelasnya,   

Selanjutnya, bertanggung jawab pada operasi harian, menyediakan sirup sebagai bahan baku utama dan quality control cita rasa menu maupun layanan. “Untuk memegang operasi, saya menggunakan kawan yang terlebih dahulu saya latih,” ucapnya.  

Tidak hanya Pencinta Jahe, Yunan juga Menyasar Pembenci Jahe

Segmen pasar yang dikejar adalah pecinta dan pembenci jahe. Lho kok begitu?
Untuk pecinta jahe, Yunan tentu tidak mengalami kesulitan. Tapi bagaimana dengan pembenci jahe?

Untuk menarik pelanggan yang membenci jahe, Yunan menciptakan menu jahe dalam format dingin yang dicampur dengan sari buah, sehingga rasa jahe tidak begitu kentara. “Hitungan saya waktu itu, pembenci pasti lebih banyak daripada pecinta. Kalo saya dapat sekian persen pembenci, maka bisnis saya akan hidup. Kalo hanya bertumpu pada pecinta, saya tidak mau makan dari irisan orang lain. Jumlahnya kekecilan untuk sebuah bisnis,” ungkapnya.  

Meski demikian, bukan berarti proses bisnisnya yang dilakoni Yunan berjalan mulus. Misal, ketika naik volume produksi, ternyata terjadi banyak deviasi yang membuat hasilnya gagal. Kekentalan yang berubah, rasa yang tidak seperti awal ketika volume masih kecil. Ketidakmulusan ini berimbas pada kerugian. Berikutnya, harga jahe yang tiba-tiba melonjak hingga di luar dugaan. “Inilah the silent killer-nya bisnis yang berbasis agro product,” jelasnya.

Kendati begitu, sejak berdiri Yunan tidak pernah memodifikasi produk maupun proses apalagi pindah jalur bisnis. “Saya harus menjaga keyakinan para mitra bahwa kita bisa hidup dari bisnis ini. Para loyalis Mororene harus merasa terjamin untuk memperoleh produk kami kapan saja. Jahe adalah adalah minuman tradisional yang tidak ada matinya. Tergantung bagaimana kita menyesuaian diri dengan perubahan,” jelasnya penuh keyakinan.

Soal tenaga kerja, Yunan mengaku tidak begitu mengalami kendala karena dibantu mesin, sehingga load kerja relatif mudah dengan jam kerja yang relatif pendek dan ringan. “Untuk tenaga kerja cukup 1 atau 2 orang dari lingkungan sekitar. Dari cuci, giling, dan peras, semua dikerjakan dengan mesin, agar pekerja lebih mudah menyelesaikan pekerjaan, dan mudah mencari pengganti apabila ada tenaga kerja yang keluar. Bahkan kalo kepepet pun masih bisa dikerjakan sendiri,” jelas pria yang juga pernah gagal menggeluti suplai kimia dan baju muslim ini.  

Faktor Penghambat dan Pendukung Bisnis Jahe

Yunan mengungkapkan, faktor penghambat bisnis ini salah satunya moda delivery. “Karena liquid, maka pengiriman menjadi kurang fleksibel. Pengiriman harus menggunakan jalan darat. Untuk area-area yang jauh seperti Sulawesi dan Papua akan memakan waktu yang cukup lama. Di samping itu, faktor musim. Hujan besar adalah saat penjualan turun,” bebernya.

Adapun faktor pendukung bisnisnya karena bahan utamanya adalah tanamam yang bisa hidup subur di Indonesia. Pada prinsipnya selama tidak ada kendala iklim, suplai akan terjamin sepanjang tahun. Umur simpan produk pun bisa mencapai 1 tahun berdasarkan uji laboratorium Fakultas Teknologi Pangan Universitas Pasundan Bandung. Terlebih sekarang ada ojek online yang sangat membantu penjualan pada saat iklim kurang bersahabat.

Untuk menggejot penjualan, Yunan mulai merambah media online. Pasalnya, hingga akhir tahun 2019, 90% penjualan masih dilakukan secara offline. Makanya menginjak tahun 2020, Yunan membuka opsi untuk ghost cafe dengan biaya kerjasama yang sangat murah. “Berkisar Rp5 juta saja. Sedangkan kerja sama untuk mitra booth, cukup Rp15 juta sudah all in. SOPnya juga sangat mudah yang bisa dikerjakan oleh anak usia SMP hingga orang tua berusia di atas 60 tahun,” jelasnya.  

Saat ini, ada 16 gerai yang tersebar di Anyer, Cilegon, Serang, Tangerang, Jakarta, Bandung dan Pati. Menyusul Surabaya, Bogor, dan 40 gerai yang sedang dipersiapkan di sekitar Depok dan Jakarta Selatan. Selain itu, Yunan berencana menggaet 100 mitra di tahun 2020 ini. Omzetnya sendiri berkisar Rp50 juta per bulan untuk penjuaan sirup. Jumlah penjualan rata-rata 10.000 cup per gerai dengan harga sirup Rp80 ribu per liter. Sedangkan harga minuman siap saji sekitar Rp10 ribu sampai 19 ribu per cup.

Ketika ditanya kunci suksesnya, Yunan mengatakan, bagi pengusaha, kata sukses sebenarnya tidak ada. Yang ada adalah pencapaian. Sukses hanyalah kata orang. Niatkan kerja adalah untuk menyebarluaskan manfaat. “Tidak ada jalan hanya lurus saja atau terus-terusan belok. Pasti silih berganti. Carilah pengalaman. Jangan cuma minum kopi. Cobalah sekali kali minum jahe. Biar tahu. Hidup nggak cuma pahit. Kadang pedes juga,” tutupnya.

 

Penilaian :

4.8

12 Penilaian

Kisah Sukses Lainnya

1 dari 3 konten bebas || Daftar dan Masuk untuk mendapatkan akses penuh ke semua konten GRATIS