Informasi Artikel

Penulis Artikel

Ari Handojo

2 April 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor dari sebagian besar negara ke Amerika Serikat sebesar 10%, dan tarif yang lebih tinggi untuk negara-negara tertentu, seperti:

  • Tiongkok hingga 145%
  • Indonesia 32%
  • Korea Selatan 25%
  • Jepang 24%
  • Uni Eropa 20%
  • Vietnam 46%

Trump menyatakan bahwa tarif ini bertujuan untuk mengoreksi ketidakseimbangan perdagangan, atau dengan kata lain pembalasan (reciprocal tariff) yang selama ini diterapkan tidak seimbang dan mendorong produksi dalam negeri Amerika Serikat.

Berdasarkan penyampaian tersebut, tarif mulai diberlakukan pada 5 April 2025. Namun, pada 9 April, setelah mendapat tekanan dari pasar global dan mitra dagang, Trump mengumumkan penundaan selama 90 hari untuk sebagian besar tarif, kecuali untuk Tiongkok yang tarifnya dinaikkan menjadi 145%. 

 

Respon Indonesia Terhadap Perang Tarif Amerika Serikat

Beberapa negara merespon akan penerapan tarif reciprocal ini. Indonesia memilih jalur diplomasi dan kerja sama ekonomi untuk merespons kebijakan tarif resiprokal AS, dengan fokus pada negosiasi, peningkatan impor, dan stabilisasi ekonomi domestik. 

Indonesia menawarkan paket peningkatan impor dari AS senilai antara $18 miliar hingga $19 miliar. Indonesia mengumumkan penurunan tarif impor untuk beberapa produk AS, seperti baja, peralatan medis, dan barang elektronik diturunkan menjadi 0–5% dari sebelumnya 5–10% (sumber tempo.co).

 

Dampak Perang Tarif Amerika Serikat Terhadap UMKM Indonesia

Dari penerapan tarif ini, sedikit banyak akan memiliki dampak bagi internal UMKM di Indonesia. UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) di Indonesia berkontribusi signifikan terhadap ekonomi domestik, dengan 97% tenaga kerja dan 60,3% terhadap PDB (Produksi Domestik Bruto). Meskipun demikian, kontribusi UMKM terhadap ekspor nasional relatif kecil, sekitar 14,4% hingga 15,7% (sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian).
  
Artinya hanya UMKM yang menjadi pengekspor aktif akan terkena dampak secara langsung akan kenaikan tarif ini, namun UMKM domestik akan mendapatkan dampak secara tidak langsung. 

Sebelum membahas dampak bagi UMKM ekspor dan UMKM domestik, berikut adalah perbedaan fokus dari UMKM ekspor dan UMKM domestik.

UMKM di Indonesia dibagi menjadi:

 

a.    UMKM Lokal dan Domestik

UMKM yang fokus untuk memenuhi kebutuhan lokal dan domestik. UMKM lokal bisa kita temui di sekitar lingkungan tempat tinggal seperti warung sembako, makanan rumahan, maupun jasa rumahan. Sedangkan UMKM Domestik cakupannya bisa lebih luas, seperti makanan kemasan khas daerah, fashion batik dan muslim, produk herbal tradisional dan furniture lokal. Pemasaran UMKM Lokal dan Domestik biasanya melalui social media dan marketplace.

 

b.    UMKM calon dan aktif Ekspor

  • UMKM calon dan aktif ekspor mempunyai target market untuk menembus pasar ekspor. Bedanya, UMKM calon ekspor masih melalui tahap pembinaan standar internasional. Pembinaannya biasanya melalui pelatihan ekspor dari pemerintah (misalnya dari Kemendag, Bekraf, atau KemenkopUKM. 
  • UMKM aktif ekspor artinya sudah rutin ekspor ke negara tujuan (misalnya AS, Jepang, Uni Eropa). Produknya seperti home decor, fashion etnik, perkebunan (kopi, cokelat, kelapa, rempah). UMKM aktif ekspor biasanya sudah memiliki sertifikasi lebih lengkap serta berjualan memanfaatkan platform marketplace internasional.

Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UKM dan Kementerian Perdagangan, per 2024:

  1. Jumlah UMKM Indonesia: ±64 juta unit.
  2. Jumlah UMKM yang ekspor langsung: hanya sekitar 0,8% – 1% dari total UMKM.
  3. Namun kontribusi UMKM terhadap total ekspor nonmigas Indonesia baru sekitar 14,5% – 15%.

Dari angka UMKM yang ekspor, pasar utamanya adalah:

Pasar Ekspor

Persentase

Amerika Serikat

+/- 17-20%

Jepang

+/- 15%

Singapura

+/- 12%

Tiongkok

+/- 10%

Uni Eropa

+/- 10%

Sumber: Laporan BPS, Kemendag, Kemenkop UKM, dan ITPC 2023–2024.

Tarif reciprocal yang diumumkan Presiden AS Donald Trump sedikit banyak akan dirasakan oleh UMKM Indonesia terutama yang berbasis ekspor:

 

a.    Penurunan dan peningkatan daya saing produk

Tarif tambahan memproduksi produk Indonesia menjadi lebih mahal di pasar AS, mengurangi daya saing dibandingkan dengan negara lain yang dikenai tarif lebih rendah, seperti Brasil atau Ghana. Namun, hal ini juga menjadi potensi peningkatan daya saing dari produk-produk yang diproduksi di Tiongkok, karena Tiongkok dikenakan tarif yang jauh lebih besar.

 

b.    Ancaman terhadap UMKM sektor padat karya

UMKM yang bergerak pada sektor padat karya, seperti tekstil dan furniture, menghadapi risiko penurunan permintaan yang dapat berujung pada pengurangan produksi dan potensi pemutusan hubungan kerja. 

 

c.    Penurunan margin keuntungan UMKM

UMKM yang mengekspor produk ke AS harus menanggung bea masuk yang lebih tinggi, sehingga dapat mengurangi margin keuntungan mereka. Tanpa penyesuaian harga atau efisiensi produksi, hal ini bisa menyebabkan kerugian atau bahkan menghentikan ekspor ke pasar AS

 

d.    UMKM perlu mendiversifikasi target market

Sebagai respons terhadap kebijakan tarif ini, banyak UMKM mulai mencari pasar alternatif di luar AS, seperti negara-negara di Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika. 

Kemudian, kenaikan tarif reciprocal yang diterapkan AS pada negara lain terutama Tiongkok dan Vietnam bisa menjadi ancaman dan peluang bagi UMKM Lokal dan Domestik Indonesia, yakni:

 

a.    Ancaman banjir impor dan persaingan di pasar domestik

Dengan adanya tarif tinggi dari AS terhadap produk Tiongkok, produsen Tiongkok mencari pasar alternatif, termasuk Indonesia. Hal ini berpotensi menyebabkan masuknya produk impor murah ke pasar Indonesia, seperti elektronik, tekstil, plastik, dan furniture. Adanya persaingan yang tidak seimbang bagi UMKM lokal dan domestik, terutama di sektor tekstil dan produk konsumen karena produksi dalam negeri belum efisien secara biaya.

 

b.    Terganggunya rantai pasok 

Banyak industri Indonesia, terutama manufaktur dan teknologi, mengandalkan komponen atau bahan baku dari Tiongkok. Ketegangan akibat perang dagang menyebabkan gangguan logistik, kenaikan harga bahan baku, atau keterlambatan pasokan. 

 

c.    Peluang subtitusi pasar Amerika Serikat

Produk Tiongkok menjadi lebih mahal di pasar AS karena tarif, sehingga peluang terbuka untuk negara lain termasuk Indonesia untuk menawarkan produk substitusi (misalnya furniture, alas kaki, tekstil, komponen elektronik). 

 

d.    Kesempatan membuka industri global di dalam negeri

Sejak tarif perang dagang memanas, menjadi peluang bagi investor Amerika Serikat untuk memindahkan pabriknya di bidang tekstil, otomotif, elektronik, dan komponen ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, dan Vietnam. 

Adanya kenaikan tarif dagang yang diterapkan oleh Presiden AS Donald Trump ke beberapa negara, memiliki pengaruh pada UMKM Domestik maupun UMKM Ekspor. UMKM harus mampu beradaptasi dengan melakukan evaluasi produk, target pasar dan memperkuat nilai produk. UMKM bisa memanfaatkan program dukungan ekspor dari pemerintah agar keberlangsungan bisnis terus terjaga.

Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut terkait masalah atau informasi keuangan lainnya, segera log in ke daya.id dan gunakan fitur Tanya Ahli untuk mendapat jawaban langsung dari ahlinya. Pastikan Anda sudah mendaftar di daya.id untuk mendapatkan informasi dan tips bermanfaat lainnya secara gratis.

Sumber:

Berbagai sumber

Penilaian :

5.0

4 Penilaian

Artikel Terkait

Artikel Ahli
5.0
Meningkatkan Usaha

Meningkatkan Engagement Media Sosial melalui Konten Interaktif

14 Oktober 2024

5.0
Meningkatkan Usaha

Cara Ubah Komentar Negatif Konsumen Menjadi Keuntungan

23 Juli 2021

Artikel Ahli
5.0
Meningkatkan Usaha

15 Tips Promosi Waralaba bagi Penerima Waralaba

22 Februari 2018

5.0
Meningkatkan Usaha

Tips Menjalankan Affiliate Marketing

04 Februari 2024

Berikan Pendapat Anda

0 dari 5 konten bebas || Daftar dan Masuk untuk mendapatkan akses penuh ke semua konten GRATIS