04 Juni 2020
Dirilis
Penulis
Arifa Amal
Saat ini babak pandemi di Indonesia memasuki bulan kelima. Angka kasus positif hampir mencapai 29 ribu orang dengan tingkat kematian hampir 6%. Tidak sedikit usaha dan sumber daya yang dikerahkan untuk menghentikan penularan Coronavirus ini. Berbagai kalangan mulai dari para tenaga kesehatan hingga masyarakat awam, pada titik ini dibuat bertanya-tanya, “Kapan pandemi ini akan berakhir? Bagaimana caranya?”
Dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut, muncul suatu konsep yang disebut-sebut dapat menghentikan pandemi ini, yakni herd immunity. Apa sebenarnya herd immunity itu? Apakah benar jika diterapkan dapat menghentikan pandemi COVID-19?
Apa itu herd immunity?
Menurut Profesor Gypsyamber D’Souza dari Johns Hopkins University, herd immunity adalah kekebalan komunal yang terbentuk ketika hampir seluruh orang dari sebuah populasi memiliki kekebalan (imun) terhadap suatu penyakit. Adapun sebagian kecil yang lainnya akan terlindungi meski tidak memiliki kekebalan yang sama.
Sebagai contoh, ketika 80% orang dalam sebuah populasi kebal terhadap penyakit, itu berarti 4 dari 5 orang yang berinteraksi dengan orang yang sakit, tidak akan ikut jatuh sakit karena sudah memiliki kekebalan tubuh. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa kemungkinan penyebaran penyakit rendah sehingga tidak lagi menyebabkan banyak kasus. Pada tahap inilah herd immunity terbentuk.
Berapa persentase populasi kebal yang dibutuhkan untuk mencapai herd immunity? Jawabannya, tergantung pada tingkat penularan penyakitnya. Pada umumnya, 70-90% populasi perlu memiliki kekebalan untuk membentuk herd immunity.
Mengapa herd immunity bisa diharapkan?
Salah satu alasan topik herd immunity muncul ke permukaan sebagai solusi pandemi adalah karena pengalaman sebelumnya. Penyakit seperti cacar, polio, mumps, chickenpox adalah penyakit yang kini sudah jarang ditemui sebab telah terbentuk herd immunity. Namun, perlu diperhatikan bahwa penyakit-penyakit tersebut bisa mencapai herd immunity karena vaksin sudah ditemukan dan dapat diakses oleh masyarakat luas.
Hal yang penting juga untuk diketahui adalah: virus dapat bermutasi. Kecepatannya bergantung pada jenis virus itu sendiri. Sehingga vaksin pun belum sepenuhnya menjamin suatu virus akan hilang selama-lamanya. Sebagai contoh, virus influenza yang menyebabkan flu. Virus ini bermutasi dengan cepat, diperkirakan kurang dari setahun. Oleh karena itu, sampai saat ini Anda masih sering menjumpai orang yang mengalami flu.
Apakah COVID-19 dapat dihentikan dengan herd immunity?
Menurut perkiraan, tingkat penularan COVID-19 untuk mencapai herd immunity setidaknya 70% populasi harus memiliki kekebalan tubuh. Kekebalan tubuh tersebut dapat dicapai dengan dua cara:
1. 70% populasi terinfeksi COVID-19, kemudian sembuh dari infeksi tersebut; atau
2. 70% populasi mendapatkan vaksinasi.
Jika dilihat pada konteks saat ini, opsi kedua sepertinya sulit terjadi dalam waktu dekat. Mengingat pengembangan vaksin membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Menurut Dr. Anthony S. Fauci, dekan National School of Tropical Medicine, vaksin yang dikembangkan dalam waktu 12-18 bulan adalah vaksin yang dibuat dengan kecepatan kilat. Normalnya, untuk mengembangkan vaksin baru, setidaknya dibutuhkan 4 tahun. Itu baru jangka waktu minimal, dan dalam perjalanannya bisa lebih dari itu.
Lalu, bagaimana dengan opsi pertama? Itu berarti 70% populasi dibutuhkan untuk terinfeksi. Dengan catatan, setelahnya sembuh.
Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah dengan kapasitas sistem kesehatan dan tenaga kesehatan yang ada saat ini, negeri ini sanggup untuk secara serentak merawat 70% populasi yang terinfeksi dan menjamin kesembuhannya?
Dengan pertanyaan ini, akhirnya bisa sama-sama dipahami mengapa World Health Organization sendiri mengkritik ide herd immunity ini. Karena risikonya yang terlalu berbahaya, bahkan bagi negara maju sekalipun.
Langkah yang Bisa Dilakukan?
Selama belum selesai dikembangkannya vaksin, para pakar sepakat bahwa strategi yang paling baik adalah melakukan penerapan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat), pembatasan sosial hingga lockdown, sebagaimana hal ini telah efektif dilakukan di negara seperti China dan Korea. Dengan physical distancing, kenaikan kurva pandemi dapat dihambat. Saat kurva dihambat, pengetesan dapat berjalan dengan lebih tersistematis serta membantu mengulur waktu untuk para tenaga kesehatan dalam mengobati pasien hingga sembuh.
Lihat materi terkait : https://www.daya.id/kesehatan/pelatihan-online/obat-dan-protokol-penanganan-covid-19
Oleh karenanya, mari ikuti anjuran pemerintah, menerapkan protokol kesehatan, mulai dari terus menjaga kebersihan tangan, memakai masker, menjaga jarak, dan menerapkan pola hidup sehat. Selain itu, yuk, turut mensosialisasikan informasi yang mendidik dan tepercaya. Tidak hanya para tenaga kesehatan yang perlu berjuang, tapi seluruh lapisan masyarakat juga memiliki andil yang besar dalam terhentinya pandemi di negeri tercinta. Jadi, mari bersama lawan virus Corona!
Anda punya pertanyaan seputar kondisi kesehatan dan COVID-19? Anda dapat mengonsultasikannya kepada mitra ahli tepercaya kami melalui fitur Tanya Ahli. Salam sehat!
Sumber:
Diolah dari berbagai sumber
Berikan Komentar