Dirilis

05 Januari 2023

Penulis

BTPN Mitra Bisnis

Walau bukan konsumen terbesar secara global, tren kenaikan harga kedelai tentu mempengaruhi pasar di Indonesia. Adapun Indonesia biasanya mengimpor sekitar 2,4 juta - 2,6 juta ton kedelai di tiap tahun. 

 

Produksi & Konsumsi Kedelai 

Besarnya kedelai impor berbanding terbalik dengan produksi kedelai nasional. Kementerian Pertanian memperkirakan produksi kedelai Indonesia terus menurun sejak 2021 hingga 2024. Pada tahun 2021, Kementerian Pertanian memproyeksikan nilai produksi kedelai dalam negeri hanya mencapai 613,3 ribu ton, turun 3,01% (yoy) dengan luas lahan sebanyak 362,612 hektare. Berikut ini datanya:

Produksi kedelai Indonesia diperkirakan kembali turun 3,05% menjadi 594,6 ribu ton pada 2022. Setahun setelahnya, produksi kedelai bakal berkurang 3,09% menjadi 576,3 ribu ton. Sementara, kedelai yang berasal dari Indonesia turun 3,12% menjadi 558,3 ribu ton pada 2024. 

Baca Juga : Simak Manfaat Kandungan Susu Kedelai Bagi Kesehatan Tubuh

Maka dapat disimpulkan, bahwa produksi kedelai dalam negeri akan cenderung mengalami penurunan terus menerus hingga tahun 2024. Kementerian Pertanian memprediksi penurunan tersebut disebabkan persaingan ketat penggunaan lahan dengan komoditas lain yang juga strategis, seperti jagung dan cabai. 

Hal tersebut pun berimbas pada penurunan luas panen sekitar 5% per tahun, lebih tinggi dibandingkan proyeksi produktivitas kedelai yang naik 2% per tahun. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, Jawa Timur merupakan sentra utama produksi kedelai di Indonesia disusul Jawa Tengah dan Jawa Barat. 

Turunnya produksi, tentu akan mempengaruhi ketersediaan konsumsi kedelai nasional hingga tahun 2024. Kementerian pertanian merangkumkan beberapa catatan penting melalui tabel berikut ini:

Pada tahun 2021, diperkirakan terdapat ketersediaan kedelai sebesar 3,2 juta ton dengan ketersediaan konsumsi/kapita sebesar 11,97 kg/tahun. Nilai tersebut diperkirakan Kementerian Pertanian akan terus menerun hingga ketersediaan konsumsi/kapita hanya mencapai 10,74 kg/tahunnya. Artinya, dominasi serta ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor akan diperkirakan semakin tinggi akibat turunnya produksi kedelai dalam negeri. 

Beralih terhadap konsumsi tahu dan tempe, baik dari konsumsi tahu dan juga tempe ternyata sudah turun sebelum adanya masa pandemi Covid-19 pada tahun 2020. Berikut ini data konsumsi tahu per kapita menurut BPS:

Berdasarkan data tersebut, maka terlihat bahwa konsumsi tahu/tahun 2017 tercatat sebesar 0,671 kg/kapita setiap bulannya. Kemudian konsumsi tahu masyarakat Indonesia kembali naik mencapai 0,676 kg/kapita/bulan atau tumbuh 0,74% (yoy). Kemudian pada tahun 2019, nilai konsumsi tahu turun mencapai 0,651 kg/kapita/ bulan atau turun -3,69% (yoy). Pada tahun 2020, konsumsi tahu malah naik menjadi 0,654 kg/kapita/bulan atau tumbuh 0,46% (yoy). Beranjak ke tahun 2021, ternyata terjadi pertumbuhan konsumsi tahu yang mencapai 0,675 kg/kapita/bulannya atau tumbuh 3,2% (yoy). 

Beralih ke konsumsi tempe, hal serupa juga terjadi. Penurunan konsumsi masyarakat Indonesia terhadap tempe turun sebelum pandemi atau pada tepatnya pada tahun 2019. Pada tahun 2017, konsumsi tempe tercatat sebesar 0,631 kg/kapita/bulan. Kemudian konsumsi tempe nasional kembali turun menjadi 0,625 kg/kapita/bulan. Penurunan yang cukup signifikan terjadi di tahun 2019, di mana konsumsi tahu hanya mencapai 0,595 kg/kapita/bulan atau turun -4,8% (yoy). 

Selanjutnya pada tahun 2020, konsumsi tempe mulai tumbuh menjadi 0,599 kg/kapita/bulan atau naik 0,67% (yoy). Pada tahun 2021, konsumsi tempe telah berhasil tumbuh 4,2% (yoy) menjadi 0,624 kg/kapita/bulan. Adapun pertumbuhan yang cukup signifikan tersebut belum kembali pada konsumsi tempe nasional sebelum mengalami penurunan yakni 0,631 kg/kapita/bulan pada tahun 2017. Berikut ini cakupan data konsumsi tempe menurut BPS:

Hingga saat ini, belum ditemukan solusi yang paling tepat dalam menyelesaikan permasalahan ketergantungan kita terhadap produk kedelai impor. Padahal tempe dan tahu adalah dua makanan populer di Indonesia. Mayoritas bahan baku untuk memproduksi tahu dan tempe masih diimpor. Kementerian Pertanian masih mencatat adanya 86,4% kebutuhan kedelai nasional berasal dari impor. Adapun terdapat beberapa faktor yang menyebabkan Indonesia harus mengimpor kedelai, antaralain: 
 

1. Produksi dalam negeri yang rendah

  • Berdasarkan berbagai sumber, dalam satu dekade terakhir, produksi kedelai nasional cenderung turun dari 907 ribu ton pada 2010 menjadi 424,4 ribu ton pada 2019. Bahkan produksi tersebut diproyeksikan terus menurun hingga 2024. 
  • Turunnya nilai produksi ini juga terjadi akibat luas lahan panen yang terus menyusut dari 660,8 ribu ha pada 2010 menjadi 285,3 ribu ha pada 2019. Hal ini juga dipengaruhi perubahan fungsi lahan ke sektor non-pertanian. 


 

2. Kurang berminatnya produsen tempe terhadap kedelai lokal

  • Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifudin mengatakan, kualitas kedelai lokal di bawah produk impor. Dia mengilustrasikan, dari satu kg kedelai impor dapat mengembang menjadi 1,6-1,8 kg ketika dimasak. Sementara, sekilogram kedelai lokal hanya dapat mengembang menjadi 1,4-1,5 kg. 


 

3. Anggapan petani terhadap budi daya kedelai yang kurang menguntungkan

  • Berdasarkan data BPS, harga produksi kedelai di tingkat petani rata-rata Sebesar Rp 8.248/kg. Namun ketika dijual ke konsumen hanya sekitar Rp 10.415/kg. Artinya, keuntungan yang diterima petani dinilai terlalu rendah dengan masa tanam berkisar tiga sampai empat bulan. 

Jika Anda pertanyaan terkait topik ini, silakan berkonsultasi secara gratis di Tanya Ahli. Daftarkan dulu diri Anda untuk akses penuh ke seluruh fitur Daya.id.

Sumber:

Berbagai sumber

Penilaian :

0.0

0 Penilaian

Share :

Berikan Komentar

Arrino Fatra

22 Pebruari 2023

Mantap

Balas

. 0

Ada yang ingin ditanyakan?
Silakan Tanya Ahli

Ari Handojo

Business Coach

1 dari 3 konten bebas || Daftar dan Masuk untuk mendapatkan akses penuh ke semua konten GRATIS